Vanquish Chapter 03 Ohh,Let It Go

Posted by Unknown

Lanjutan Dari

May, 24th 2014
At the Wedding

POV Nadya
Nadia Agustina

Aku dan suamiku baru saja sampai disini. Tempat yang sehari-harinya adalah tempatku bekerja, malam ini terlihat berbeda. Tempat ini, lebih tepatnya di halaman belakang sana, digunakan untuk acara resepsi pernikahan teman kerjaku Tiara. 

Entah kenapa dia malah memilih tempat ini. Untuk sekelas keluarga Ara, dan Ara sendiri maupun suaminya, bukan hal yang sulit mencari tempat yang lebih bagus dari ini. Tapi kalau melihat lagi konsep yang mereka mau, tempat ini memang cocok, karena halaman ini cukup luas dan sudah tertata dengan baik.

Malam ini cukup meriah, banyak tamu yang datang. Rasanya rekan kerjaku hadir semua di pesta ini, ditambah lagi undangan dari pihak suami Ara dan keluarga mereka. Suasana pesta yang indah dibarengi iringan musik jazz, konsep garden party yang elegan, menampilkan selera yang tinggi dari si empunya acara.

Aku dan suamiku malam ini kompak berseragam biru, warna favorit kami. Sesampainya disini ternyata sudah cukup ramai. Kami segera menuju ke pelaminan menyalami dan memberi selamat pada temanku yang sedang berbahagia ini.

“Araaa, selamat yaa sayang, semoga langgeng selamanya, sampai kakek nenek, sampai cucu-cucu kamu jadi kakek nenek juga, hehe, semoga cepet dapet momongan,” ucapku ke Ara sambil memeluk dan menciumi pipinya.

“Wahahaha amiiin amiiin, makasih ya Nadya,” jawabnya membalas pelukan dan ciumanku.

“Mas Budi, selamat yaa,” ucapku kepada mempelai pria, kalau ini cukup salaman saja, hehe.

“Iya makasih ya Nad,” jawabnya sambil tersenyum, aduh gantengnya.

“Ara, Budi, selamat ya, semoga langgeng terus dan cepet dapat momongan,” ucap suamiku ke mereka berdua.

“Amiin, makasih ya mas Hendri,” balas mereka serentak.

Kamipun kemudian berfoto, lalu turun dari panggung utama. Akupun berkata kepada suamiku untuk mencari kawan-kawanku, dan diapun berkeliling untuk mencari teman-temannya. Setelah beberapa saat mencari, aku melihat ada teman kantorku, Aliya dan Kartika sedang ngobrol dengan beberapa orang lain.

“Hai Lia, Tika, udah lama kalian?” sapaku.

“Eh Nad, iya udah lumayan nih, kamu baru dateng?” tanya Lia.

“Iya nih, tadi agak lama nunggu suamiku, hari sabtu aja masih kerja ampe sore gitu, yah nasib, hehe,” jawabku.

Akhirnya kamipun ngobrol dengan tamu-tamu lain yang juga teman kami sekantor. Sekitar 15 menit kami ngobrol, tiba-tiba ponsel pintarku bergetar, sebuah pesan masuk dari seseorang.

'5 menit lagi, toilet pria lt 1, barat.'

Begitu isi pesannya. Singkat, seperti yang sudah-sudah, yang selama ini sering masuk ke ponsel pintarku, dan seperti biasanya juga pesan itu langsung aku hapus. Pesan-pesan seperti ini sebenarnya sudah sering aku terima. Tapi yang bikin aku jengkel, kenapa harus sekarang, saat ada acara, ada banyak orang, dan lagipula akupun datang kesini dengan suamiku, lama-lama orang ini makin aneh aja, pikirku.

Tapi mau bagaimana lagi, aku juga nggak bisa membantahnya. Atau mungkin, nggak mau membantah, karena akupun mulai menikmati ini. Sejak pertama aku ‘dipaksa’ untuk mengkhianati suamiku, selanjutnya tanpa banyak menolak aku turut menikmati apa yang dia berikan kepadaku.

Tak lama kemudian aku pamit ke teman-temanku untuk ke toilet yang dimaksud. Pintar juga orang ini memilih tempat, bukan di toilet belakang karena kemungkinan akan banyak orang disitu, mengingat toilet belakang cukup dekat dengan tempat acara. Ya mau bagaimana lagi, kami yang sehari-harinya berkantor disini tentu saja sudah paham.

Sambil celingukan memastikan tidak ada orang yang melihatku, akupun segera masuk. Dan betapa kagetnya aku, ternyata dia sudah menunggu di dalam, beracak pinggang. Resletingnya sudah terbuka, batang penisnya tegak sempurna menghadapku. 

Baru saja aku menutup pintu toilet ini, pria itu langsung saja menarikku dan menghempaskan tubuhku ke dinding. Merenggangkan kakiku, kemudian mengangkat rokku sampai pinggang. Celana dalamku hanya digeser sedikit saja bagian yang menutupi vaginaku, dan pria itu langsung saja menancapkan penisnya yang sudah keras ke vaginaku yang masih sangat kering ini.

“Aaaaaaaarrrkkkkhh pak sakiiiitt, tunggu dulu pak, memek saya masih kering,” pintaku pada pria itu. 
“Sssttt, jangan teriak, nanti kalau ada yang denger bisa gawat kita,” ucapnya berbisik, sambil kemudian dilumatnya bibirku, dan diremas kencang payudaraku.

Aku yang tak siap menerima serangannya ini hanya bisa memejamkan mataku, mengernyit menahan perih di vaginaku. Batang sebesar itu memaksa masuk ke rongga sempit vaginaku yang masih sangat kering, membuat tiap gesekan antara permukaan dinding vaginaku dengan penisnya terasa begitu perih.

Aku mencoba membalas ciuman pria itu agar bisa sedikit meredam rasa sakit di liang vaginaku. Kami memang sudah sering melakukan quickie sex seperti ini, tapi biasanya nggak asal tancap seperti malam ini.

Masih terasa perih vaginaku dihajar batang besar itu, batang penis yang sedikit lebih besar daripada punya suamiku, yang sudah beberapa waktu ini menghiasi lubang peranakanku dengan kenikmatan-kenikmatannya. Namun kali ini aku sama sekali tidak bisa merasakan kenikmatan itu, justru pedih dan perih yang terasa, sama seperti waktu dulu selaput daraku robek, lebih perih malah.

Pria itu masih dengan kencangnya memompa liang vaginaku yang belum juga basah. Aku makin meringis kesakitan. Entah kenapa pria itu seperti kesetanan menyetubuhiku malam ini. Sudah 5 menit lebih dan pria ini semakin kencang memompa vaginaku.

“Uhhh aahh paakhh pelaan paaaakkkhh," pintaku berbisik, menahan perih.
“Ough, memekmu memang mantap sayang, masih sempit saja, padahal udah pernah dipake ngelahirin,” jawab pria itu, semakin kencang menyodoki rahimku.

“Aaahh ahhh paaak pelaan jangan ahh kencang-kencang, memek saya bisa lecet pak aaakkh,” aku masih berusaha memintanya untuk lebih lembut memperlakukanku.
“Gimana mau pelan kalo memek kamu senikmat ini sayang,” jawab pria itu sekenanya.

“Ampuunh paak pliss jangan kasar pak,” semakin terasa perih, meskipun sekarang vaginaku mulai basah.
“Aaakh aku mau keluar sayang, terima pejuhku ini yaa,” goyangan pria itu semakin kecang saja.

Oh tidak, dia mau keluar, sedang aku dalam masa suburku. Tidak, jangan sampai dia keluar di dalam rahimku.

“Paakh jangan didalam pak, saya aaah ahhh lagi suburr,” pintaku sambil mencoba menahan gerakannya.
“Kalo gitu kasih mulut kamu sayang, aku mau kamu telen pejuhku, aah,” segera pria itu mencabut penisnya, menekan pundakku kebawah hingga terduduk di hadapannya, dan tanpa aba-aba langsung saja menjejalkan penis besar itu ke mulut mungilku.

“Eehmmpp eeeeemmmmpphhh,” pria itu menyodokan penisnya dengan kasar, memaju mundurkannya membuatku beberapa kali tersedak.

“Terima pejuhku sayang, telan semuaanyaa,” dengan sekali tekan, penis itu masuk begitu dalam. Menyemburkan cairan kental dan hangat yang sangat banyak. Aku tersedak, mataku terbelalak.

Aku mencoba menelan carian itu, tapi nggak bisa semua karena aku sempat terbatuk sehingga sebagian keluar dari mulutku. Tak pernah pria ini memperlakukanku sekasar ini sebelumnya. Entah apa yang membuatnya jadi seperti ini.

Penis itu masih tertancap di mulutku, mulai mengecil dan melembek. Aku menjilatinya agar bersih sebelum keluar dari mulutku. Dan baru kusadari cairan sperma yang sempat keluar tadi kini malah membasahi kerudungku.

“Ihhh bapak pejuhnya kok banyak banget pak, sampe nggak muat ni mulut saya, mana kena kerudung saya lagi kan, ntar kalo ada yang tau gimana pak,” ucapku sewot, masih sambil berbisik.

“Hahaha, nggak papa sayang, nggak akan ada yang tau. Bapak horny banget tadi, ngentotin memek sempit kamu sambil ngebayangin si Ara, cantik banget dia malam ini pake gaun pengantin itu, hahaha,” jawab pria itu santai sambil menyalakan rokoknya.
“Ah bapak, yang dientot saya yang dibayangin orang lain,” makin sewot aku jadinya.

Pantas saja dia bisa seliar dan sekasar ini, rupanya karena membayangkan temanku Ara. Ah aku jadi bete, cuma dijadiin lubang pelampiasan saja ternyata. Wajahku masih cemberut saat aku membersihkan tetesan sperma yang sempat membasahi kerudungku, agar tak terlalu berbekas.

Aku terpaksa menunggu sebentar, agar kerudungku sedikit mengering dan tidak terlihat bekas sperma itu. Pria itu segera mendekatiku, memelukku dari belakang. Menciumi tengkuk dan telingaku yang tertutup kerudung.

“Ssshh, bapak mau ngapain lagi pak?” tanyaku mendesis.
“Hehe, masih ngambek Nad? Jangan ngambek dong, ntar bapak kasih enak,” jawabnya sambil meremas kedua payudaraku.

“Sshh aaah pak, tapi jangan kasar lagi ya,” pintaku, kali ini menikmati perlakuannya.
“Iya sayang,” dia meremas lembut kedua payudaraku, bibirnya menyusuri pipiku, dan kemudian bertemu dengan bibirku. Kami berciuman lembut sekali, seperti yang biasanya dia lakukan ke aku.

‘I’m at a payphone trying to call home’
‘All of my change I’ve spent on you’

Itu ringtone untuk panggilan dari suamiku, dia menghubungiku. Ahh disaat seperti ini.

“Paakh bentar paak, suamiku telpon,” pintaku kepada pria itu agar berhenti sejenak.
“Sluurrp, udah angkat aja, sluurpp,” dengan cueknya dia mencumbui telingaku dan masih meremas payudaraku.

“Hallo pah, kenapa pah?” terpaksa kuangkat telpon dari suamiku, sambil menahan agar suaraku terdengar senormal mungkin.
“Mamah dimana mah? Kok nggak keliatan?,” tanya suamiku.

“Eehhm, mamah lagi di toilet ni paah, sakit peruut, eehhm,” jawabku sedikit mendesah.
“Halaah, salah makan apa kamu mah? Malah sakit perut gitu,” balas suamiku lagi.

“Hhmm, nggak tau ni pah tiba-tiba ajaahh,” desahku semakin menjadi saat tangan pria ini mulai menjamah selangkanganku.
“Haduuh ya udah deh, tapi cepetan mah, ini ada yang mau ketemu mamah,” suamiku sewot.
“Hehe, iya pah, ini mamah bentar lagi kesana,” segera kututup telponku.

“Paakh, udahan dulu, saya ditunggu suami saya, ahhh,” pintaku sambil menepis tangannya yang sedang mengusap-usap vaginaku dari luar pakaian.

“Hehe, yaudah sana, biar bapak lanjutin ntar sama Lia,” jawabnya sambil meremas kencang payudaraku dan menusukkan jarinya di belahan vaginaku.
“Aaah dasar bapak yaa,” jeritku menerima perlakuannya. Eh, Lia? Apa yang dimaksud itu Aliya teman kerjaku? Rupanya orang ini sudah berhasil membuat Lia jadi lubang pemuasnya juga. Atau jangan-jangan, sasaran selanjutnya adalah Ara, yang membuat dia menjadi begitu liar saat menyetubuhiku tadi. Dasar bandot, nggak ada puas-puasnya memang kalau urusan selangkangan.

Aku merapikan kembali pakaianku, memastikan tidak ada yang kusut atau berantakan bekas pergumulanku tadi. Jangan sampai ada yang melihat penampilanku tidak rapi sehingga mereka berfikiran yang tidak-tidak, meskipun faktanya memang terjadi, hehe.

Aku segera beranjak meninggalkannya setelah dia dengan gemasnya meremas dan menepuk pantatku yang padat ini. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar sini, akupun keluar dari toilet dan menuju kembali ke tempat acara sambil menahan rasa sakit di selangkanganku.

***
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam waktu kami sampai di rumah. Memang cukup lama kami di pesta pernikahan temanku Ara, karena ternyata suamiku kebetulan bertemu dengan teman lamanya, yang ternyata sekarang kerja satu perusahaan dengan suami Ara, meskipun beda kantor cabang.

Kata suamiku, mas Ramon temannya ini, adalah teman terdekatnya waktu kuliah dulu. Satu kampus, satu jurusan, satu angkatan, bahkan satu kost. Makanya nggak heran kalau mereka dekat banget, sudah seperti saudara saja. Dia datang dengan istrinya. Jadilah kami berempat ngobrol cukup seru, sampai-sampai aku harus ijin sebentar untuk menemui teman-temanku yang juga sedang ngobrol dengan Ara.

Setelah itu akupun kembali ke suamiku dan melanjutkan obrolan kami berempat. Dari sudut mataku aku sempat beberapa kali melihat teman suamiku ini seperti memperhatikanku, tapi tidak terlalu aku pikirkan karena memang aku sedang ngobrol dengan istrinya juga. Kami ngobrol selama itu dengan aku masih menahan rasa perih di vaginaku akibat ‘pemerkosaan’ di toilet tadi.

Setelah cukup lama berbincang, dan para tamu juga sudah beranjak pulang satu persatu, akhirnya kami menyudahi obrolan kami dan berjanji untuk bertemu lagi di lain kesempatan setelah sebelumnya bertukar nomor telepon dan pin. 

Sesampainya di rumah, aku segera menuju kamar anakku untuk melihat kondisinya. Dia sudah tertidur lelap, dengan pembantuku yang juga tertidur di kursi sebelah tempat tidur anakku. Perlahan kubangunkan dia.

“Mbak, mbak, pindah ke kamar aja mbak tidurnya,” ku goyangkan pelan badannya.
“Eh bu Nadya udah pulang? Maaf bu saya ketiduran tadi abis nidurin dek Zafran,” jawabnya.

“Ya udah, sekarang mbak balik ke kamar aja, tapi dicek dulu semua pintu-pintunya ya mbak, pastiin udah dikunci semua,” pintaku.
“Iya baik bu,” kemudian dia pergi meninggalkan kamar anakku.

Aku mendekati anakku yang sudah terlelap, kuusap ringan dan kukecup kening anakku yang belum genap 2 tahun ini. Aku tersenyum melihat wajah polos anak ini saat tidur, aku suka sekali melihat wajah anakku ketika tidur seperti ini. Rasanya damai, membuatku betah memandangnya lama-lama. Entahlah, mungkin kalian juga pernah merasakan apa yang sedang aku rasakan sekarang ini.

Setelah itu aku kembali ke kamarku untuk ganti baju dan bersih-bersih sebelum tidur. Tapi begitu aku masuk kamarku, suamiku sudah melepaskan pakaiannya, hanya menyisakan kaos dalamnya saja, sementara bawahannya sudah telanjang, penisnya tegak mengacung.

“Mah, papah pengen nih,” suamiku mendekati dan langsung memelukku.
“Ihh papah ntar dulu dong mama bersih-bersih dulu.”
“Nggak usah mah, sekarang aja papa udah pengen banget,” katanya sambil menciumi wajahku.

Belum sempat aku melanjutkan protes, mulutku langsung dibekap oleh suamiku. Aku meladeni cumbuannya dengan memainkan lidahku dan menghisapi bibir bawah suamiku. Akupun sebenarnya juga masih merasa nanggung, setelah tadi di pernikahan Ara aku ‘diperkosa’ pria itu tanpa aku mendapatkan klimaks.

Tangan suamiku mulai bergereliya di sekujur dadaku, meremasnya pelan, kadang kasar, menimbulkan sensasi yang nikmat. Dia tahu benar bagaimana merangsangku. Tanganku tak mau kalah, ku genggam penisnya yang sudah tegak, keras sekali, lalu kukocok perlahan.

Tak tahan, suamiku memintaku untuk mengulum penisnya. Segera kuturuti permintaannya. Kukecup ujung kepala penis itu, kujilati lubang kecingnya yang sedikit mengeluarkan cairan. Kusapukan lidahku menyusuri seluruh permukaan penis dan buah zakarnya. Kulirik keatas, tatapan kami bertemu, wajah suamiku nampak makin birahi dengan perlakuanku ini.

Segera saja kulumat penis yang dulu pernah merobek selaput daraku ini. Kuberikan servis terbaikku. Kumasukkan dalam-dalam di mulutku, kuhisap-hisap, sedangkan lidahku menyapu bagian kepalanya. Aku melakukan itu sambil berpandangan dengan suamiku, membuatnya mendesah karena aksiku ini.

“Oouuh maah, enak banget maah, kamu makin jago aja nyepongnya maah,” ceracau suamiku.
“Sluurrpp,, heemmph,, sluuurrpp,” hanya itu yang terdengar dari mulutku.
“Aaahh enak maah, belajar dimana sih kamu maah, aahh,, ahhh.”

Kalau saja suamiku tahu aku belajar dari mana cara nyepong seperti ini, bisa-bisa habis dihajar aku nanti, hihi. Kulanjutkan kulumanku ke suamiku, yang sekarang sudah menggerakan pinggulnya maju mundur menyenggamai mulutku. Namun tak berapa lama ditarik keluar penisnya dan tubuhku direbahkan di ranjang.

Dia lalu menyingkap rok yang masih kupakai sampai ke perutku, menarik lepas celana dalamku dan langsung membuangnya. Suamiku kemudian mencumbui paha dalamku, mencucup, menghisap, dan menjilatinya, kiri dan kanan bergantian. Setiap cumbuannya selalu berhenti di pinggiran bibir vaginaku, tak sampai menyentuhnya.

Diperlakukan sedemikian lembut membuatku tak bisa berhenti menggelinjang dan mendesah. Cumbuannya terus dilakukan tanpa menyentuh vaginaku sama sekali, membuatku semakin blingsatan. Pantatku beberapa kali terangkat ketika lidahnya hampir sampai di bibir vaginaku, namun ditariknya lagi sebelum menyentuhnya, membuat vaginaku semakin gatal saja.

“Aahhh papaah, sentuh memek mama paaah,” pintaku memelas, sambil menggerakan vaginaku ke arah lidahnya.

Namun tak dihiraukan permintaanku, suamiku masih saja asik berputar-putar di pinggiran bibir vaginaku. Tak tahan, aku mengarahkan tanganku untuk mengusap vaginaku, namun segera ditepis dan malah dipegangi oleh suamiku. Aku semakin menggila, semakin menggelinjang, memekku minta segera disentuh, rasanya gatal sekali pengen digaruk, aaarrgghh.

Melihatku tersiksa menahan birahi ini suamiku hanya tersenyum saja, lalu dengan cepat mencaplok kelentitku dan segera menghisapinya. Aku yang tak menyangka mendapat serangan itu hanya mendesah panjang, menikmati cumbuan suamiku.

“Aaahh,, iyaa pah disitu, aahh isepin itil mama paah, aaah terus paaah,” desahku menyambut cumbuan dari suamiku. Bibirnya begitu nakal merangsang kelentitku, dijilatinya, dihisapnya pelan, kadang digigit-gigit kecil, sambil sesekali menyapukan lidahnya di bibir vaginaku, membuat tubuhku tak berhenti bergerak.

“Aahh terus paah, jilatin memekku paah, aahh isep terus paah,” ceracauku nakal. Memang ketika bergumul dengan suamiku bibirku ini seolah tak bisa direm untuk mengucapkan kata-kata nakal seperti itu, membuat kami semakin terangsang saja.

Saat awal pernikahan kami, aku memang masih menjaga ucapanku bahkan saat kami bercinta sekalipun, karena hasil didikan dari lingkunganku membuatku memiliki persepsi bahwa hal-hal itu terlalu tabu. Namun seiring berjalannya waktu, akupun bisa terbiasa dengan hal-hal seperti ini karena ternyata memang benar, permainan kata-kata yang terselip saat sedang bercinta memberikan stimulus dan tambahan rangsangan bagi kami berdua.

Setelah cukup lama mencumbui kelentit dan vaginaku, hingga cukup basah, suamiku pun beranjak menciumi bibir dan wajahku. Tanganku segera meraih penisnya yang sudah keras itu, menempatkan persis di bibir kemaluanku. Dengan pelan didesakkan kepala penis itu memasuki kemaluanku, ouuh nikmat sekali rasanya.

Penis itu baru masuk separuhnya, lalu ditarik perlahan, hampir keluar, lalu dimasukan lagi, diulanginya beberapa kali sampai vaginaku benar-benar banjir, bahkan aku hampir saja mendapatkan orgasmeku ketika suamiku malah secara tiba-tiba menghentakkan penisnya hingga tertelan semua di liang vaginaku, dan tanpa jeda langsung menggoyangnya dengan tempo yang sangat cepat.

Badanku terlonjak-lonjak, kepalaku bergerak berpaling ke kiri dan ke kanan, hingga kerudungku makin berantakan. Aku mengimbangi gerakan suamiku dengan menggoyangkan pinggulku, aku ingin menjemput orgasmeku, aku menggoyangkan pinggulku semakin cepat. 

“Aaahh paah, terus paah cepetin, mamah mau keluar paaah.”

Mendengar itu suamiku mempercepat goyangannya, sehingga tak berapa lama kemudian..

“Aaahhh paaah, mama nyampeeee ooohhhhh,” badanku mengejang, terangkat melengkung. Mataku terpejam, bibirku terbuka membentuk huruf O, nafasku terengah-engah, menikmati klimaks yang baru saja aku dapatkan. Puncak kenikmatan yang sudah aku tunggu dari sejak beberapa jam yang lalu, yang akhirnya membuat rasa perih di vaginaku akibat melayani seorang pria tadi di pernikahan Ara menghilang.

Suamiku mendiamkan dulu penisnya, memberiku kesempatan sejenak untuk menikmati klimaksku dan mengatur kembali nafasku. Dia memelukku erat sambil mengecup lembut bibirku. Masih terasa keras sekali batang penisnya di dalam vaginaku sana.

Setelah beberapa saat, kurasakan penis itu bergerak-gerak lagi, perlahan menggesek dinding vaginaku. Akupun ikut menggoyangkan pinggulku, melayani suamiku tercinta. Gerakannya masih teratur, dengan tempo yang sedang, menarik penisnya hampir keluar, lalu memasukkan lagi hingga menyentuh dinding rahimku.

Setelah sekitar 5 menit bergerak seperti itu, sambil diselingi kami yang saling mencumbu, gerakan suamiku semakin cepat. Crok..Crok..Crok.. Dia hentak-hentakkan penisnya di liang kemaluanku yang sudah sangat basah. Semakin lama semakin cepat, hingga kurasakan dinding vaginaku bergetar-getar merasakan sesuatu akan kembali datang.

“Paah, mamah mau keluaar lagii paah, terusin paah kencenginnn.”
“Iyaa maah, ooh enak banget memekmu maah, ngejepit banget di kontol papah.”
“Aahh paah teruss paah, kontol papaaah enak banget, entotin mamah paaahh, ooohh aahh.”

Kami semakin mendesah tak karuan. Gerakan badan kami lebih tak karuan lagi, aku benar-benar merasa sebentar lagi akan mencapai klimaksku untuk yang kedua kalinya. Ku kaitkan kedua kakiku memeluk pinggang suamiku, aku ingin disodok lebih dalam lagi.

“Aaaahh paah, mama mau keluaar paaah, terusss paaaah,” semakin dekat kurasakan puncak kenikmatanku akan datang.

Namun semakin mendekati klimaksku, ketika dinding vaginaku sudah berkontraksi, tinggal sedikit lagi mencapai orgasme, suamiku justru menurunkan tempo gerakannya, menarik penisnya perlahan hingga menyisakan kepalanya saja, lalu memasukan kembali, juga dengan perlahan sampai mentok, diulanginya terus seperti itu, hingga kurasakan begitu nikmatnya permukaan penis itu menggelitik seluruh permukaan dinding vaginaku, yang menimbulkan sensasi nikmat yang lain, tapi sangat nikmat, hingga akhirnya aku merasakan orgasmeku yang luar biasa.

“Paaaahhh, mama keluaaaaaaaaarrrrhhh,” desahku panjang sambil memeluk suamiku. Didiamkannya penis itu di dalam vaginaku, menikmati remasan-remasan sisa dari orgasmeku. Kami berciuman mesra sekali.

“Gimana sayang orgasmemu? Nikmat banget kan?” tanya suamiku.
“Iyaa paah, duh nikmat banget ini, lain dari biasanya, papah belajar darimana ini?” tanyaku balik sambil masih terpejam meresapi puncak kenikmatanku. Dia hanya mejawab dengan kecupan di bibirku.
“Nungging mah, papa belum selesai nih,” pintanya, dan akupun segera menurutinya. 

Aku balikkan badanku, bertumpu pada kedua tangan dan kakiku di kasur. Aku lihat pada cermin di samping ranjangku ini, pakaianku sudah awut-awutan, apalagi kerudungku, terlihat sudah begitu basah oleh keringatku. Tak lama kemudian kurasakan suamiku mulai menggesek-gesekan kepala penisnya di bibir vaginaku yang sudah basah hasil dari dua kali orgasme yang sudah aku dapatkan.

“Oouuuhh paaah, eehhmm enakh paaaah,” desahku saat penis itu sudah masuk seluruhnya ke dalam vaginaku.

Kali ini suamiku langsung menggenjotku dengan tempo tinggi, membuat badanku terlonjak-lonjak ke depan. Sepertinya kini giliran suamiku yang menjemput klimaksnya sehingga dia langsung mengayuh begitu kencangnya. 

Suara ‘ah eh oh’ menghiasi kamar kami, mengiringi kenikmatan bercinta aku dengan suamiku, mengarungi samudera birahi tanpa tepi. Kenikmatan yang tak pernah gagal diberikan oleh suamiku selama hampir 3 tahun pernikahan kami.

“Aah aahhh paah terus paah, eeehhmmm terus paah,” eranganku semakin menjadi. Goyangan cepat suamiku membuat vaginaku yang sudah dua kali banjir kini berkedut-kedut lagi. Kedua tangannya memegang erat pantatku, kadang meremasnya. Pompaannya semakin kencang, aku merasa sebentar lagi akan mencapai klimaks lagi untuk yang ketiga kalinya.

“Paaah, aahh akhuuu maauuuhh aahhh keluar laghiiii paaah,” ceracauku, lalu kemudian, “Aaaaaaarrrghhh papaaaah, mamah keluaaaaar, aaaaahh,” aku mendapatkan orgasmeku lagi, namun suamiku bukannya berhenti seperti sebelumnya, malah semakin kencang memompa vaginaku.

“Stop dulu paaah, aahh ssssttop bentaarrhhhh papaaaaah,” pintaku untuk memberi jeda sejenak menikmati orgasmeku.
“dikit lagi maaahh uuugghh nanggung ooogghhh papaah mau keluar maah,” rupanya suamiku juga sedang mengejar orgasmenya, goyangannya semakin kecang.

Crok..Crok..Crok..Crok..Crok..Crok.. Suara tumbukan kemaluan kami terdengar cukup keras, apalagi vaginaku yang telah sangat basah akibat 3 kali orgasme.

“Aaaaagghh sayang, papa keluaaaar maaaaaaaah.”

Crot crot crot, sekitar 6 kali semburan ke liang peranakanku, begitu terasa, membuatku ikut merasakan klimaks kembali, yang keempat kalinya. Tubuhku mengejang sesaat, sebelum akhirnya ambruk ditindih tubuh suamiku. Penisnya masih tertancap di vaginaku, sementara kurasakan ada cairan yang merembes keluar dari liang kemaluanku. 

Nafas kami terengah-engah menikmati sisa-sisa pertarungan kami, hingga tak lama kemudian kami tertidur tanpa berubah posisi, dengan pakaian yang semakin acak-acakan. Kami terlelap, tanpa kami sadari, sejak tadi pintu kamar kami masih terbuka lebar, dimana sepasang mata tampak menonton permainan kami, dan kemudian menekan tombol stop pada ponselnya.

***

3rd POV (POV Penulis)

Akhirnya, pesta usai sudah. Para tamu sudah kembali ke kediaman masing-masing. Kedua aktor utama malam ini pun telah meninggalkan tempat, menuju peraduan mereka. Namun kesibukan belum usai disini. Masih terlihat berseliweran beberapa orang merapikan sisa-sisa pesta.

Beberapa orang dari Wedding Organizer, menginventarisir kembali, barang-barang mana saja yang menjadi milik mereka, atau mana saja yang milik pihak lain. Sedangkan orang catering, merapikan segala macam peralatan dan perlengkapan mereka. Beberapa orang lainnya, bagian merapikan dan membersihkan.

Sementara, beberapa orang lain, di beberapa tempat yang berbeda, nampak sibuk dengan aktivitas yang lain. Aktivitas yang sama, dengan apa yang akan dilakukan kedua pengantin malam ini di kamar pengantin mereka. 

***

Renata Dwi Hapsari


Devina Ratna (Ci Devi)

“Hallo.”
“Hallo mbak, assalamualaikum,” ucap seseorang di ujung telepon, yang tak lain adalah Budi.
“Waalaikumsalam,, kenapa Bud?” tanya Rena.
“Eh maaf mbak ngganggu, mbak udah balik hotel? Aku cuma mau nanyain masalah catering tadi udah belum yaa?.”
“Eehhhmm, iyaa Bud ini lagi diurus Budh, ini mmmbak masih ditempatth acara kamuuh tadi,” jawab Rena, sambil menahan desahannya, saat seorang pria sedang menjilati bukit payudaranya.

“hhmmm,, ahhhh,, ouhhh,” terdengar suara seorang wanita yang sedang disodok dari belakang oleh seorang pria di sudut ruangan itu.

“Eh mbak masih disitu tho? Ntar pulangnya gimana?,” tanya Budi lagi.
“Mbak kan bawaahhh mobil sendiri tadi Budhh eeehhhhh,” jawab Rena semakin mendesah saat pria itu memasuk memasukkan jarinya ke belahan vagina Rena yang sudah sangat basah.

“Mbak, Mbak Rena, itu suara-suara apa sih mbak?” tanya Budi penasaran.
“Suara apa thhoo Bud?” Renata bertana balik, senormal mungkin.

“Ituu suara-suara dibelakang mbak itu,” jawab Budi.
“Oouuhh enggak kok Bud, ituuh orang-orang catering lagi padaah beres-beres,” jawab Rena mencari alasan.

“Udaahh yaa Bud, kamu lanjutin aja belah durenmu, ahhhh, assalamualaikum,, tuut,, tuut,, tuut,” segera ditutup teleponnya saat pria itu tiba-tiba memasukan penisnya ke vagina basah Rena dan langsung menggoyangnya.

Rena kembali meletakkan ponsel pintarnya di meja. Dia cepat-cepat menutup panggilan dari adiknya yang sedang menjalani ritual malam pertamanya. Dia tidak ingin adiknya curiga dengan apa yang sedang dilakukannya, dengan apa yang sedang terjadi di tempat ini.

Sesaat sebelum pulang, Budi meminta tolong kepada kakaknya Renata, yang kebetulan malam ini datang sendiri karena suaminya bertugas ke luar pulau, untuk mengurus keperluan dengan pihak Wedding Organizer dan catering, terutama masalah pelunasan biaya pernikahannya.

Sepeninggal Budi, Rena mencari kakaknya Filli untuk menemaninya mengurus titipan Budi, namun sepertinya kakaknya ini sudah pulang, jadi mau tidak mau dia sendiri yang harus mengurusnya.

Setelah hampir setengah jam lamanya dia berurusan dengan Tata, perwakilan dari pihak WO, untuk menuntaskan segala sesuatunya, dia segera menghampiri seorang pria dari pihak catering, untuk menanyakan keberadaan Ci Devi, sang pemilik catering ini. Pria itu menunjuk sebuah ruangan di sudut belakang bangunan utama yang masih nampak terang. Dia bilang bahwa ruangan itu digunakan sebagai basecamp pihak catering selama acara ini.

Rena sempat melihat Pak Sarbini, supir ayah Ara ikut membantu mengangkuti beberapa barang. Dalam hati dia bertanya, kenapa Pak Sarbini masih disini? Apa ayah Ara juga masih disini? Tapi kok dari tadi terlihat?

Rena segera menuju ruangan yang ditunjuk oleh pria catering tadi, dan mengetuk pintunya. Tak kunjung ada jawaban dari dalam ia pun membuka pintu tersebut. Betapa terkejutnya Rena ketika membuka pintu ruangan itu, dilihatnya ada 3 pasang pria dan wanita sedang bergumul dengan panasnya. Keenam orang ini sudah tak memakai pakaian satupun.

Dia mengenali seorang diantara mereka adalah Ci Devi, orang yang sedang dia cari, seorang wanita berkulit putih dengan mata sipitnya, tanpa busana, ditindih oleh seorang pria muda yang sedikit gelap kulitnya. Dia melihat 2 orang gadis muda lain yang dia tidak tahu namanya, tapi dikenalnya sebagai karyawan Ci Devi, dengan keadaan tak jauh beda dengan majikannya sedang mendapatkan pompaan di selangkangannya.

Rena begitu terpana melihat pemandangan di hadapannya ini. Belum pernah sekalipun dalam hidupnya dia melihat ada orang lain yang sedang bersetubuh, langsung di depan matanya, apalagi ramai-ramai seperti ini.

Belum sempat dia beranjak dari tempatnya berdiri, bahkan belum habis rasa kagetnya, tiba-tiba sepasang tangan kekar memeluk tubuhnya dari belakang dan membawanya masuk ke dalam ruangan itu. Tangan kekar itu langsung mendekap mulut Rena ketika akan berteriak.

Dia mencoba berontak, namun tenaga yang dimilikinya jelas kalah dari pria yang sedang mendekapnya itu. Dengan mudah tubuh Rena diangkatnya, setelah sebelumnya pria itu menutup pintu ruangan dengan kakinya. Tubuh mungil Rena diangkat dan dibawa mendekat ke Ci Devi yang terlihat hanya tersenyum saja melihatnya.

“Aaahh,, oohhh,, bentar yaa mbak Renata, kami party dulu, oohh terus Yooon,” ucap Ci Devi sambil vaginanya terus dipompa oleh seorang pemuda yang di panggil Yon.

“Ci, mbak cantik ini buat saya ya, hehe,” ucap pria yang sedang mendekap Rena.
“Aahhh, terserah kamu ajaa To,” jawab Ci Devi.

Pria itu segera menarik rok selutut yang dikenakan Rena, menariknya ke atas, dan kemudian memasukkan tangannya merogoh bagian selangkangan Rena. Tangannya mencari-cari karet celana dalam Rena, dan begitu ketemu langsung saja ditarik dengan cepat dan dibuang begitu saja.

Rena semakin meronta saat jari kekar lelaki yang di panggil To tadi masuk mengorek liang kemaluannya. Ini adalah pertama kali ada pria selain suaminya yang menyentuh organ intimnya. Dia tak terima diperlakukan seperti ini, dia terus meronta sekuat mungkin agar bisa lepas.

Namun sekuat apapun usaha Rena tetap tak berhasil melepaskan diri dari si To ini. Diapun tak bisa berteriak karena mulutnya masih dibekap erat oleh To. Kini rontaannya semakin melemah, dan air matanya semakin deras membanjiri pipinya yang mulus. Tak pernah dia bayangkan sebelumnya akan mendapatkan perlakuan seperti ini dari pria selain suaminya.

“Sudah mbak jangan ngelawan terus, ntar malah capek sendiri lho. Mau dikasih enak juga kok. Nih memeknya udah mulai basah saya kobel gini, hehe,” bisik To di telinga Rena sambil sesekali menjilati daun telinga itu.

“Eeemmppphhh,, eeeemmpppphhh,” suara erangan Rena yang tertahan oleh dekapan To, mengisyaratkan penolakannya. Namun tak bisa dipungkiri rangsangan jari To di vaginanya lama-lama mengundang birahinya yang terpendam untuk muncul.

“Duuh mbak, pake jari saya aja kok rasanya sempit gini, gimana entar kontol saya yang masuk mbak, wah pasti wuenaak iki, haha,” semakin kencang kocokan jari To di vagina Rena.

Rena masih meronta, menggerakkan badannya, mencoba memungkiri rasa nikmat yang perlahan muncul dari liang vaginanya. 'Ini nggak boleh terjadi, aku nggak boleh mengkhianati mas Wildan’ ucap Rena dalam hati mengingat suaminya yang sedang bekerja membanting tulang demi dia dan anak-anaknya.

Namun semakin kuat Rena mencoba memungkiri kenikmatan yang diberikan jemari To, justru kenikmatan itu semakin terasa, semakin naik mencoba menguasai akal dan pikirannya. Ditambah lagi pemandangan erotis di sekitarnya.

Saat ini dilihatnya seorang gadis muda berambut panjang sedang berbaring. Kedua kakinya terpentang lebar. Kemaluannya sedang diobok-obok oleh sebuah penis hitam dan berurat, sedangkan kedua payudaranya sedang dipermainkan oleh bibir dan tangan si pria. Gagis itu terlihat menikmati sekali persenggamaannya. Dia terlihat bergoyang seirama dengan sodokan yang dia terima.

Di tempat lain, di sudut ruangan ini, seorang gadis muda lain, dengan wajah yang cukup manis, berambut ikal sebahu, sedang menduduki selangkangan seorang pria kurus sambil membelakanginya. Gadis itu bergerak naik turun, memberikan pompaan ke batang yang sedang bersemayam di vaginanya. Kacamata minus gadis itu berkali-kali seperti mau lepas karena saking bersemangatnya dia menunggangi sang pejantan.

Sementara Ci Devi masih menungging, dihajar vaginanya dari belakang oleh sebuah penis yang sudah nampak mengkilat oleh cairan pelumas Ci Devi. Dia membiarkan saja payudara besarnya yang bergelantungan bebas diremas-remas dengan keras oleh pria itu. Mulutnya tak henti mendesah menandakan betapa kenikmatan yang sedang dia terima.

Rena sendiri semakin lama semakin kehilangan akal sehatnya. Nuraninya masih berteriak untuk menolak, hatinya menangis saat tubuhnya sedang dijamah pria lain seperti ini, namun vaginanya tak bisa membohongi reaksi alami dari tubuhnya. Vaginanya telah basah, cairan pelumasnya sudah keluar menyirami rongga dinding vaginanya.

Matanya masih deras mengalirkan air, mulutnya pun masih didekap. Namun kini rontaannya semakin hilang. Badannya sudah lemas, lelah meronta dan sedang dipaksa untuk menikmati jamahan jemari kekar milik pemuda itu. 

Tangannya yang sedari tadi memegang kedua tangan To, bermaksud untuk menariknya agar tidak menjamahi tubuhnya, kini hanya diam saja, bahkan beberapa kali terasa meremas tangan kekar To. Sang pria hanya tersenyum saja mengetahui mangsanya hampir takluk.

To terus merangsang vagina Rena. Dengan jarinya dia merasakan dinding vagina wanita itu mulai berkedut. Pinggulnya pun bergerak-gerak tak hanya diam seperti tadi. Tangan wanita itu semakin meremas tangannya. Matanya masih terpejam, sementara ia merasakan nafas rena semakin memburu.

Sadar mangsanya akan segera mencapai klimaks, To mempercepat kocokan jarinya di vagina Rena. Dan benar saja, tak berapa lama kemudian tubuh Renata mengejang, vaginanya berkedut dan cairan cintanya membanjir. Disaat yang bersamaan To melepaskan dekapan tangannya di mulut Rena.

“Aaaaaaaaaaaaahhhrrrrggg,” teriakan Rena menyambut orgasmenya. Ini adalah orgasme pertama yang didapatkannya dengan pria selain suaminya. Bahkan teriakan Rena, meskipun tidak terlalu keras, tapi membuat keenam orang lain di ruangan itu terkejut dan mengalihkan pandangannya ke Rena.

Mereka tersenyum melihat Rena kini berdiri bersandar di tubuh To. Roknya masih terangkat. Jemari To masih ada di dalam vaginanya. Badannya ditahan oleh tangan To yang memeluk pundaknya, sementara kedua tangan Rena memegang tangan To. Matanya terpejam, nafasnya memburu, bibirnya sedikit terbuka, masih meresapi sisa-sisa orgasmenya.

“Aaahhhh,, eeemmpphh,, sluurrpp,, eeemmmmpphhh.”

Tak menunggu lama, To segera memulai aksi jemarinya lagi. Kali ini langsung mengocok vagina Rena dengan tempo yang cepat. Bibir tonggosnya segera melumat bibir tipis Rena yang masih sedikit terbuka, tangan kirinya meremasi bagian dada Rena.

Rena yang tak siap hanya bisa memegang tangan To, menariknya tanpa tenaga. Dia sudah lemas, peluh mulai membasahi dahinya. Dia tidak mencoba untuk memalingkan mukanya. Dibiarkan bibir To melumati bibirnya, menghisap-hisap bibir tipisnya, tanpa membalasnya. Nuraninya belum mengamini nalurinya untuk berbuat lebih.

Lidah To menjalar masuk, menjilati apa yang bisa dia jilat di dalam mulut Rena dengan ganasnya. Mengait lidah Rena agar mau keluar dan mampir ke dalam bibirnya, agar bisa dihisapinya. Tangan kirinya masih asik meremasi payudara Rena kiri dan kanan bergantian. Jemari tangan kanannya makin kencang mengocoki vagina Rena.

Rena hanya terpejam menerima perlakuan itu. Birahinya mulai naik, namun dia masih belum bereaksi apa-apa. Kencangnya To merangsang bagian-bagian intim tubuhnya membuatnya tak tahan lagi. Tak sampai 5 menit diperlakukan demikian, dia mendapatkan lagi orgasme keduanya.

“Eeeeeeemmmmpphhhhhhh,” teriaknya tertahan oleh lumatan bibir To. Bahkan ketika orgasmenya datang tanpa sadar dia membalas hisapan bibir To.

Badan Rena kembali melemas, namun kocokan di vaginanya belum berhenti. To ingin mangsanya benar-benar takluk kepadanya. Dia ingin menikmati tubuh Rena sepuasnya malam ini, sebelum nanti bertukar dengan ketiga temannya. Bibirnya sudah tidak lagi mencumbu bibir Rena, kini beralih ke leher dan telinga wanita cantik itu.

Crook,, Crook,, Crook,, suara kocokan jemarinya beradu dengan vagina Rena yang sudah sangat becek, hasil dua kali orgasme yang didapatnya. Tangan kirinya bergerak masuk melalui belahan gaun Rena mencari-cari puting payudaranya.

“Aahh,, Aaahhh, udaaahh masssshh oouugghh,” desahan Rena saat putingnya kini dimainkan dengan kasar oleh jemari To.

Rena sudah tidak lagi memperhatikan sekitarnya. Tak diperhatikannya bagaimana gadis berambut ikal di sudut ruangan yang tadi menduduki kemaluan si lelaki berkelojotan menerima bermili-mili sperma di dalam vaginanya, begitupun kedua wanita lain yang sudah terbaring lemas dengan tetesan sperma di wajah mereka.

“Aaaahhhh maaassh, aaaaahhhhhhhh,” Rena mendapatkan orgasmenya lagi, yang ketiga kalinya. Tubuhnya lemas, sangat lemas, hingga terjatuh begitu saja ketika To melepaskan dekapannya di tubuh Rena untuk menelanjangi dirinya sendiri.

Disaat yang bersamaan
Magenta Kurniasari (Tata)
Di belakang sebuah panggung, yang beberapa jam sebelumnya digunakan untuk pelaminan pernikahan Ara dan Budi, nampak sepasang manusia beda usia tengah bergumul. Sang wanita berdiri menungging dengan menopangkan kedua tangannya di sebuah meja kecil, sementara sang pria menyenggamainya dari belakang.

Wanita muda itu sudah tidak lagi mengenakan celana dan celana dalamnya, sementara kemeja yang dia kenakan sudah lepas semua kancingnya, dan bra yang dipakai pun sudah tersingkap ke atas. Sang pria tua sama saja, hanya tinggal kemejanya yang masih terpasang rapi di badannya.

“Aaahhh paakk, udaaahh paaakk saya udaah capeekhh,” keluh sang wanita.
“Eeemmhh,, aahhh bentar lagi non, bapak belum beres inih,” jawab sang pria tua.

“Aaakkh, pelan paakh Sar, bool saya masih sakithh,” rintih sang wanita.
“Aahh,, Aahh,, kapan lagi saya ngentotin boolnya non Tata, abis ini kan nggak ketemu lagi non,” jawab pria itu.

Sarbini, supir dari keluarga Ara memang bukan sekali ini saja berhubungan dengan Tata, namun sudah beberapa kali saat mereka bertemu untuk membahas perihal pernikahan Ara yang dipercayakan pelaksanaannya ke WO tempat Tata bekerja.

Setelah acara ini selesai, tentunya kesempatan mereka berdua bertemu akan semakin kecil. Tak masalah bagi Tata yang memiliki kehidupan yang bebas, tapi bagi Sarbini tentu lain soal. Karena itulah malam ini, dia ingin sepuasnya bercinta dengan Tata untuk yang terakhir kali.

Sudah hampir 30 menit mereka berada disini, setelah Renata kakak dari Budi menemuinya, Tata langsung saja ditarik ke belakang panggung oleh Sarbini. Pria tua itu sudah tak tahan lagi. Setelah mengantar Ara dan Budi ke rumahnya, dia segera kembali ke tempat acara ini untuk menjemput sang boss, namun ternyata pak Wijaya masih asik menindih seorang wanita muda yang entah siapa.

“Woo j*nc*k, malah disuruh nungguin orang ngentot,” umpat Sarbini kesal. Dia jengkel dengan bossnya itu. Kebanyakan orang tahunya Pak Wijaya adalah sosok yang baik hati, penuh kharismatik dan menjadi contoh ayah dan suami ideal di lingkungannya. Tapi diluar itu, Sarbini sendiri menjadi saksi bagaimana majikannya itu beberapa kali berjumpa dengan wanita-wanita muda tanpa sepengetahuan siapapun.

Sarbini tidak bisa mengenali wanita-wanita majikannya karena selalu menggunakan topi lebar dan kacamata hitam, namun bisa dia simpulkan bahwa wanita-wanita itu masih berusia muda, mungkin seumuran anaknya.

Sarbini makin kesal, karena semakin malam dia pulang, pasti tidak akan mendapatkan jatah dari istrinya, yang jam segini pasti sudah tidur, dan pasti akan mengamuk jika tiba-tiba dibangunkan selarut ini. Dia memang ingin segera pulang, karena dipikirannya ingin segera menuntaskan nafsu birahinya.

Selama mengantar Ara dan Budi pulang tadi, Sarbini terkagum-kagum oleh kecantikan Ara. Sebenarnya gadis itu sudah setiap hari dilihatnya, namun malam ini beda dengan balutan gaun pengantinnya, apalagi terbanyang di benak Sarbini apa yang akan dilakukan oleh Ara malam ini setelah dia antar pulang.

Tapi bagaimanapun Sarbini tetap menghormati keluarga Wijaya, keluarga yang menolongnya dari kesusahan, memberikan pekerjaan yang tetap untuk dirinya, membiayai pengobatan istri dan anaknya yang menghabiskan ratusan juta rupiah, dia berhutang nyawa dan kehidupan di keluarga ini, karena itu dia tidak akan berani macam-macam.

Namun malam ini dia benar-benar kesal, niatnya untuk cepat pulang justru terhalang oleh kelakuan majikannya. Secara tak sengaja dia melihat dari celah jendela, majikannya sedang menindih tubuh telanjang seorang wanita, namun tidak jelas siapa wanita itu karena cahaya ruangan yang redup dan juga tertutup oleh badan sang majikan.

Bertambahlah kejengkelannya. Jengkel karena horny, yang tak bisa dia lampiaskan. Apalagi ketika melihat Tata, perempuan yang sudah beberapa kali digaulinya, sedang berbincang lama dengan Renata, membuatnya semakin jengkel saja.

Tapi tak lama kemudian dia tersenyum, dilihatnya Renata menjauh. Kemudian didekatinya Tata dan segera ditarik menuju belakang panggung. Tata yang terkaget dengan sikap Sarbini ini hanya cekikikan saja melihat tingkah orang tua yang seperti cacing kepanasan menahan birahinya ini.

Sudah 30 menit Sarbini menyodoki Tata. Sudah sempat dia menyemburkan spermanya di vagina Tata yang juga sudah dua kali orgasme, kini dia memasukkan penisnya yang masih keras ke lubang yang lebih sempit lagi.

Sarbini masih menggoyangkan dan memompakan kelaminnya menumbuki liang anus Tata, sambil meremasi kedua dadanya yang besar menantang. Mulutnya melumati bibir tipis Tata dan menghisap-hisap lidahnya.

Tata sendiri senang diperlakukan seperti ini. Dia memiliki pengalaman seks yang cukup banyak dengan berbagai macam tipe orang. Dia menyukai permainan Sarbini karena meski sudah cukup berumur, tapi Sarbini memiliki penis yang cukup besar dan tahan lama, yang menjadi syarat untuk memuaskannya.

Tata yang bisa dibilang seorang maniak sebenarnya juga sanggup bertahan lama dalam berhubungan badan, bahkan dengan beberapa lelaki sekalipun. Namun pekerjaannya hari ini cukup menyita pikiran dan fisiknya, sehingga kini sudah letih sekali dia melayani nafsu Sarbini.

“Aahh,, Ooohh non, bool non mantep bener, bapak mau keluar lagi non,” lenguh Sarbini.
“Aaahh, iyaa pakk, keluarin ajaaahh,” jawab Tata.

Kemudian Sarbini mencabut penisnya, membalikan tubuh Tata dan memintanya berjongkok.

“Non, sepongin kontol bapak non,” pintanya.

Tanpa banyak menjawab Tata langsung mengulum penis besar itu, dia keluar masukan penis itu, disedot-sedot dan dijilati permukaannya, hingga tak lama kemudian,

“Aaaahhh non bapak keluaarrhh, telen pejuh bapak nooonn, oooohhh,” Sarbini mencapai klimaksnya, sambil menahan kepala Tata dan menekankan penisnya masuk ke mulut Tata.

Tanpa merasa jijik Tata menelan semua sperma Sarbini, kemudian menjilati permukaan kepala penisnya itu, lalu mengulumnya lagi beberapa saat, hingga penis itu mengecil baru dia keluarkan dari mulutnya.

“Haaahh, makasih yaa non, non emang mantep deh, moga-mogaa abis ini bisa ketemu non lagi, hehe,” ucap Sarbini sambil merapikan pakaiannya.

“Hihihi iya pak, sama-sama, kali aja nanti kita bisa ketemu lagi pak, hehe. Saya duluan yaa pak, kerjaan belum beres ini, cup,” jawab Tata sambil merapikan pakaiannya, lalu beranjak pergi setelah sebelumnya memberikan kecupan di bibir Sarbini, yang membuatnya hanya terkekeh saja.

***
Kembali ke ruangan Catering


Renata Dwi Hapsari


Devina Ratna (Ci Devi)

To tersenyum memandangi wanita yang sedang bersimpuh di depannya itu. Mimpi apa dia, malam ini bisa menikmati tubuh wanita cantik ini. Dia melirik pacarnya, yang mukanya baru saja menerima sperma dari temannya, dia bandingkan dengan Rena. Masih kalah, padahal Rena jelas lebih tua, tapi justru masih lebih menarik dibandingkan pacarnya itu.

To segera menelanjangi Rena. Tanpa perlawanan sama sekali, To berhasil melolosi seluruh pakaian yang dipakai Rena. Dia memandang kagum tubuh wanita ini. Hampir sama dengan pacarnya, tubuhnya yang mungil berhiaskan dua bukit cantik di dadanya. Tidak besar, tapi pas dengan tubuhnya. Pantatnya padat sempurna, dengan perut yang masih langsung tanpa ada timbunan lemak. Tubuh wanita ini bahkan lebih indah daripada Ci Devi yang sudah beberapa kali dia nikmati.

Melihat keindahan seperti ini membuat To tak tahan lagi. Penisnya sudah tegak mengacung sempurna. Langsung saja di telentangkan tubuh Rena, dia buka lebar-lebar kedua kakinya. Matanya nanar menatap vagina Rena yang tembem, sudah begitu basah siap untuk menerima perkenalan dari penis besar To. Diapun menggesek-gesekan ujung kepala penisnya di bibir vagina Rena.

Rena yang menyadari ada gesekan di vaginanya langsung membuka mata, terkejut melihat penis besar itu. Lebih besar dari punya suaminya. Dia mencoba menahan, namun To lebih cekatan. Dipegangnya kedua tangan Rena, sementara penisnya dia majukan, menerobos, membuka lipatan bibir kemaluan Rena.

“Aaahhh, maass jangan aahh, aku udahh punya suamii maass, jangaaaaaaannn aaaaahhh,” teriak Rena saat penis besar itu menerobos masuk ke rongga kewanitaannya langsung hingga mentok menyentuk dinding rahimnya. Rena terpejam, cukup sakit dia rasakan.

“Aaaahh sakiiit maaassshh,” keluhnya, matanya terpejam, kemudian dia menggigit bibir bawahnya menahan sakit.
“Bentar lagi juga enak kok mbak, memek mbak enak banget, masih sempit mbak.”

“Gimana rasanya To?” tanya Ci Devi yang kini sedang mengocok penis pemuda yang tadi ditunggangi oleh gadis berambut ikal sebahu.
“Wuuih, enak Ci, masih sempit, legit banget, hehe,” jawab To sambil mulai menggoyangkan pinggulnya.

“Enak mana sama memeknya cewekmu ini To?” tanya Yon yang sekarang sedang men-doggie pacarnya.
“Hehehe, entar kamu coba sendiri lah Yon,” jawab To, sungkan kepada pacarnya.

To pun mulai menggoyangkan pinggulnya dengan santai, dia ingin menikmati setiap sentuhan antara penisnya dengan dinding vagina sempit mili Rena. Untung saja Rena sudah sampai tiga kali orgasme sehingga tidak terlalu sulit memasuki vagina sempitnya. Vagina sempit hasil senam rutin Rena selama ini, karena setelah melahirkan dia mendapat komplain dari suaminya yang merasa vaginanya melebar. Kini, selain suaminya, malah ada pria lain yang menikmati hasil senamnya selama ini, dan bahkan mungkin ketiga pria lainnya juga akan menikmatinya juga.

Rena hanya mendesah-desah kecil, dia menahan desahannya, tidak ingin terlihat menikmati permainan To. Bagaimanapun juga dia adalah istri orang, yang sebelum ini adalah seorang istri yang sangat setia kepada suaminya. Ia ingin menjaga martabatnya sebagai istri setia dengan tidak menikmati permainan To.

Namun lambat laun desakan birahinya tak bisa ia bendung lagi. Permainan To, penis besarnya, goyangannya, sungguh terlalu nikmat. Pinggulnya bahkan mulai merespon setiap gerakan To. Dari bibirnya mulai terdengar desahan-desahan lembut. Nuraninya tidak ingin menikmati, namun kali ini kalah dengan naluri kewanitaannya.

“Aaaahh,, aahh,, aaahhh,, oohhh,, ooohhh,” desahan Rena semakin terdengar saat To mencumbui payudara indah Rena. Masih kencang, meski sudah dipakai menyusui. To menggigit-gigit payudara itu meninggalkan sejumlah cupangan disana. Dia juga membuat jejak-jejak di sepanjang leher hingga ke dada Rena.

Rena hanya berharap ketika suaminya pulang nanti bekas-bekas cupangan ini sudah hilang semua. Dia tidak mau perbuatannya ini sampai tercium oleh suaminya.

“Gimana mbak, enak kan kontol saya?” tanya To sambil menciumi telinga Rena.
“Eeemmhh,, aahhh,, aaaahhh,” dia tak mau menjawab, meski tak bisa dipungkiri oleh tubuhnya, ini sangat nikmat.

To mempercepat goyangannya, dia memeluk erat tubuh Rena. Dirasakan vagina Rena semakin berkedut, nampaknya akan segera membanjiri batang penisnya. Rena semakin mendesah, dia merasakan puncaknya sebentar lagi akan datang. Namun dengan sangat tiba-tiba To menghentikan gerakannya.

Rena memandang nanar To, seolah sesuatu yang amat ia inginkan hilang begitu saja. Ekspresi wajahnya mengisyaratkan TO untuk melanjutkan gerakannya. Klimaksnya sudah diujung tanduk. Namun To hanya tersenyum saja membelai wajah Rena, tanpa melanjutkan gerakannya.

To bahkan merasa ada sedikit gerakan di pinggul Rena, bergerak lembut menjemput klimaksnya. To tahu Rena masih malu untuk meminta, tapi To ingin mendengar Rena meminta, memohon dituntaskan birahinya, yang artinya adalah penyerahan total diri Rena kepada dirinya.

“Gimana mbak? Enak nggak kontol saya? Kok diem aja,” tanya To sambil tersenyum menggoda Rena.

Rena tersipu, wajahnya makin memerah, lantaran birahi bercampur rasa malunya. Dia berpaling, lalu mengangguk kecil. Dia masih terlalu malu untuk mengakui dirinya menginginkan lebih, ingin segera dipuaskan.

“Kenapa mbak? Kok ngangguk gitu? Nggak enak ya kontol saya? Ya udah deh tak cabut ya mbak,” kata To semakin menggoda Rena, dengan menarik lembut penisnya.

Rena reflek, menahan gerakan To dengan kedua kaki dan tangannya. To hanya tersenyum melihat mangsanya yang semakin tersipu itu.

“Iyaa mas, enak,” ucap Rena lirih, sangat lirih nyaris tak terdengar.
“Apa mbak? Saya nggak dengar, mbak ngomong apa tadi? Lagian mbak ngomong sama siapa kok nengok kesana?”

Dengan wajah yang sudah memerah, Rena memalingkan wajahnya menatap To, wajah yang jauh dari kata fotogenik itu. Dia kalah, dia menyerah, Rena takluk pada birahinya, dia membuang semua rasa malunya, lalu,

“Iya mas, penis mas enak banget di vagina saya,” ucap Rena lebih keras.
“Apa mbak? Penis? Vagina? Apa itu mbak?” tanya To dengan ekspresi pura-pura bodoh.

“Iya maaas, kontol mas enak banget di memekku, entotin aku lagi maaass,” Rena menyerah, tak pernah sekalipun sebelumnya dia sevulgar ini. Kedua tangan dan kakinya semakin erat memeluk To sambil digoyangkan pinggulnya.

“Enakan mana sama kontol suamimu mbak? Oh iya mbak namanya siapa?” tanya To lagi.
“Enakan kontolmu mas, kontol suamiku kecil, oohh entotin aku mas, entotin Renataaaahhh,” kali ini To langsung memompa kembali penisnya dengan kuat, sambil ia lumat bibir Rena. Renapun kali ini membalas setiap lumatan To, dia menghisap-hisap bibir tonggos itu, membelit-belit dan menghisapi lidahnya. Rena sudah tidak peduli lagi, dia hanya ingin nafsunya dituntaskan.

Kedua insan berlainan jenis itu terus mengayuh birahinya. Diriingi tawa dari semua orang yang ada di ruangan itu, tawa mendengar pengakuan jujur dari Rena, tawa melihat Rena telah sepenuhnya takluk dalam permainan mereka.

“Aaaahhh,, aaaahhh teruss maashhh Rena mau dapet, teruss entotin Rena masss,” pinta Rena tanpa sungkan lagi sekarang.
“Terima kontolku ini mbak, nikmati kontolku ini, aahh,, aahh,” To pun mendesah menikmati betapa legitnya liang vagina Rena.

“Akuu mau dapeet mass, aakhuuu aaahhhhhh,” Rena memeluk erat tubuh To, dia klimaks lagi, lebih nikmat dari sebelumnya. Badannya mengejat-ejat, pinggulnya terangkat, liang vaginanya meremas kuat penis To di dalamnya.

Tanpa memberi banyak waktu istirahat kepada Rena, To membalikkan tubuh mungil itu, lalu menusukkan lagi batang kemaluannya ke vagina Rena yang masih berkedut. To memompa penisnya dengan kasar, dia tak mampu bertahan lebih lama lagi, vagina ini terlalu nikmat buatnya. Tak sampai 3 menit kemudian,

“Aaaahhh mbaak Renaaa, aku mau keluaarrrh, aaahhh,” ucap To, pompaannya makin kasar.
“Aaahh jangaaan di dalaaamm maassss aahhhhhh.”
“Terima ini mbaakkhh aaaahhhhh aku keluaaaaarrrrhhh,” To menancapkan penisnya dalam-dalam, tangannya meremas kuat pinggul Rena.

Croot,, Croot,, Croot,, banyak sekali sperma keluar di vagina Rena, sementara badan Rena pun mengejang, dia mendapatkan orgasmenya lagi akibat semburan sperma To. To segera mencabut penisnya, membalikkan badan Rena, dan dengan cepat memasukkan penisnya ke mulut mungil Rena.

“Bersihin kontolku mbak, isepin semua pejuhnya,” kata To.
“Eeeemmmpphh,, Eeeeemmmpphhh,” Rena gelagapan menerima penis To, dirasakan cairan asin bercampur dengan bau cairan kewanitaannya. Mau tidak mau Rena segera menjilati membersihkan penis To agar cepat ditarik dari mulutnya.

“Aaahh, nikmat banget kamu mbak, hahaha,” kata To saat penisnya keluar dari mulut Rena dan melihat Rena terbatuk-batuk karenanya. 

Rena terpejam, dirasakannya ada cairan yang meluncur keluar dari lubang vaginanya, terasa menggelitik liang kemaluannya. Dia masih terengah-engah, menikmati persetubuhan paling nikmat dalam hidupnya. Sesaat dia melupakan suaminya. Saat ini dia hanya menikmati apa yang sedang dirasakannya.

Belum selesai ia menikmati kepuasan yang baru saja didapatnya, dia merasa kedua kakinya diangkat, dan di renggangkan, kemudian sebuah penis yang tak kalah besarnya dari punya To dari merangsek memasuki vaginanya. Rena membuka matanya, Yon. Pria yang tadi menyetubuhi Ci Devi dan pacarnya To, kini menyetubuhinya.

Sementara pacar To mendekati dirinya, menciumi bibirnya dengan ganas, melumati setiap inchi dari bibir tipis itu. Tak berapa lama gadis itu berjongkok tepat di atas muka Rena, memposisikan vaginanya tepat di atas bibir Rena.

“Jilatin memekku mbak, bersihin pejuhnya si Yon,” perintah gadis itu.

Entah karena sudah terbawa birahi atau apa, Rena menurut saja. Ini adalah pertama kalinya dia menciumi kelamin seorang wanita. Rasanya aneh, apalagi bercampur dengan sperma pria-pria yang tadi menyenggamainya. Saat vaginanya sedang dioral Rena, pacar To kemudian mengulum penis pria lain yang ada dihadapannya.

Dari sudut matanya Rena melihat To sedang bergumul dengan gadis berambut ikal, sedangkan Ci Devi nampak sedang menunggangi seorang pemuda kurus. Pemandangan yang sangat erotis, dimana 4 pasang pria dan wanita sedang bergumul dengan panasnya. 4 orang wanita yang secara wajah maupun bentuk tubuh yang bisa dibilang di atas rata-rata, sedang memacu birahi dengan 4 pemuda yang wajahnya di bawah rata-rata, namun memiliki senjata yang mampu membuat keempat wanita ini klepek-klepek.

Permainan ini terus berlanjut hingga jam 3 pagi, hingga semua orang tak sanggup lagi melanjutkannya. Keempat wanita itu terbaring berdekatan, dengan lelehan sperma yang memenuhi wajah, badan, hingga lubang vagina dan anus mereka.

Permainan yang membawa Rena ke sebuah pengalaman baru. Selama tiga tahun pernikahan yang dia jalani, dia adalah seorang istri yang memegang teguh norma kesetiaan. Tak pernah sekalipun dia berpikir untuk menyeleweng dari suaminya. Beberapa lelaki yang mendekati dia tolak dengan halus, karena kesetiaannya kepada suaminya.

Namun malam ini, kesetiaan itu sirna sudah. Bukan hanya satu, tapi empat orang pria telah berhasil menancapkan penis kokoh mereka ke vaginanya. Mulutnya yang selama ini hanya pernah mengulum penis suaminya, malam ini sudah mengulum empat penis lain, bahkan juga menjilati vagina ketiga wanita di sampingnya itu, hal yang sama sekali tak pernah terpikir olehnya.

Malam ini juga menjadi saksi, To mengambil keperawanan lubangnya yang tersisa, dan diteruskan dimasuki oleh ketiga lelaki lainnya. Dia menikmatinya, bagaimana bercinta dengan pria lain, bagaimana bercinta dikeroyok tiga orang sekaligus yang masing-masing memasukkan penisnya ke tiga lubang yang dia punya.

Sakit hanya dia rasakan di awal, namun selanjutnya betapa dia menikmati permainan ini. Badannya penuh dengan peluh dan sperma. Sekujur leher dan dadanya penuh dengan bekas cupangan dari keempat pria itu, kondisi yang tidak berbeda jauh dialami oleh ketiga wanita yang lainnya.

Renata segera berbenah, dia harus segera kembali ke hotel. Dia memakai pakaiannya seadanya. Pakaian dalamnya tak bisa dia temukan, entah sudah terlempar kemana. Pakaian yang dia pakai pun penuh dengan bercak sperma yang mulai mengering. Bau sperma yang cukup menyengat itu dia tutupi dengan menyemprotkan parfum ke seluruh permukan tubuh dan bajunya.

Dia berjalan tertatih, masih terasa perih di selangkangannya. Akhirnya pria kurus yang terakhir menyenggamainya tadi menawarkan diri mengantarkannya. Rena sempat menolak, tapi akhirnya mau setelah dipaksa Ci Devi. Dengan perlahan Rena dituntun masuk ke mobilnya, kemudian si pria kurus ini mengemudikan mobil itu menuju hotel.

Sesampainya di hotel, ternyata Rena tidak bisa langsung beristirahat. Dia digarap habis-habisan lagi oleh pria kurus itu hingga tak sadarkan diri, saat keduanya terlelap berangkulan dengan kedua kelamin yang masih menyatu, tanpa sehelai benangpun menutupi tubuh mereka.

***
June, 20th 2014

POV Safitri

Safitri Rahmadianti

Banyak orang yang bilang, atau mungkin punya keinginan, bahkan cita-cita, ketika saatnya nanti kita harus pergi dari dunia ini, itu adalah saat dimana kita sedang melakukan apa yang kita suka, yang menjadi profesi kita, yang menjadi hobby kita, apa yang menjadi passion kita. Untuk apa? Demi sebuah penghargaan? Atau untuk kebanggaan? Lalu apa gunanya semua itu kalau sudah tidak ada lagi di dunia ini?

Yang tersisa hanyalah kesedihan dan rasa kehilangan bagi yang ditinggalkan. Seperti apapun prosesnya, apalagi harus dengan cara yang tragis, kepergian orang yang kita cintai tetaplah membekas sebagai sebuah kesedihan dan kehilangan. Memang, siap atau tidak kita harus merelakannya, tapi rasa sedih dan kehilangan tak lantas pergi begitu saja.

Setahun lalu, ketika orang yang aku cintai dan mengisi kehidupanku selama hampir 6 tahun, harus pergi selamanya saat menjalankan tugas. Sebuah penggerebekan gembong narkoba yang berakhir harus dengan baku tembak karena bocornya informasi. Beberapa korban dari kedua belah pihak, dan salah satunya adalah suamiku. 

Kabar yang meruntuhkan duniaku saat itu. Kebahagiaan yang sedang kami bangun, saat kami sedang menyaksikan Andin tumbuh menjadi gadis kecil yang menggemaskan. Tiba-tiba kami harus kehilangan seorang lelaki yang begitu baik dan bertanggung jawab. Seorang pelindung sekaligus pengayom bagi keluarga kecil ini.

Tangisan tiada henti nggak akan mengembalikannya ke tengah-tengah kami lagi. Pada akhirnya, senyuman polos dari wajah Andin lah yang menguatkanku untuk menjalani hari-hari ini, dan selanjutnya.

***
Hari sudah sore, saat aku masih berdiri di tempat peristirahatan terakhirnya. Hari ini tepat setahun kepergiannya. Sebait doa telah terucap beriring dengan tetesan air mata. Bukan hanya tetes air mata kesedihan atau kehilangan. Tapi juga pada sebuah penyesalan dan rasa bersalah yang sangat mendalam. Rasa bersalah atas dosa dan pengkhianatan yang telah terjadi. Sebuah pemaksaan pada awalnya, namun tak bisa aku hindari selanjutnya, dan hingga saat ini.

Drrrttt.. Drrrttt.. Drrrttt.. Kulihat layar ponsel pintarku yang ku setting mode senyap, lalu segera kujawab panggilan itu.

“Hallo, assalamualaikum mah,” salamku.
“Waalaikumsalam. Kamu belum pulang Fit?,” jawab mama mertuaku dari ujung sana.
“Iya mah ini udah pulang kok, lagi mampir ke tempat Mas Guntur,” jawabku.
“Oh ya udah kalau gitu, nanti pulangnya beli lauk sekalian ya Fit, mbak Wati nggak sempat masak tadi, dia pulang duluan katanya suaminya sakit,” terang mama mertuaku.
“Oh iya mah nanti Fitri belikan lauk sekalian, ada lagi mah?” tanyaku.
“Udah itu aja, kamu ati-ati ya pulangnya nanti, assalamualaikum,” tutupnya.
“Iya mah, waalaikumsalam," pungkasku.

Aku memasukan lagi ponsel pintarku ke dalam tas, lalu berpamitan pada suamiku.

‘Mas, Fitri pulang dulu. Semoga tenang disana mas, dan maafkan Fitri,’ batinku meminta pamit, dengan rasa sesak di dadaku dan air mata yang kembali menetes.

Malam itu kami makan malam bertiga. Suasana ceria dengan celotehan Andin yang lucu dan menggemaskan, yang selalu menjadi penghibur bagiku dan neneknya. Besok aku libur, akan kuajak dia jalan-jalan, sekalian membeli beberapa perlengkapan sekolah, karena sebentar lagi Andin akan masuk ke dunia barunya.

Aku sudah berbaring di ranjangku, yang setahun ini aku tempati sendiri. Mataku terpejam, namun masih belum bisa terlelap. Hampir setiap malam seperti ini, masih merindukan sosok mendiang suamiku berada di sampingku, memeluku memberikan rasa nyaman dan damai. Bayangan-bayangan indah yang selama ini kami lewati muncul lagi, membuat bibir ini tersenyum, namun air mata juga ikut menetes.

Karena bayangan lain juga ikut muncul. Bayangan seorang lelaki yang telah memaksaku mengkhianati janji setiaku, yang menjadi mimpi-mimpi burukku lebih dari setahun yang lalu. Kemudian diikuti bayangan seorang lelaki lainnya, yang sempat menjadi penyelamatku pada awalnya, namun membawaku ke pengkhianatan lain pada akhirnya.

***
“Aaahh,, oohh,, memek kamu masih sempit aja Fit, peret dan menggigit,” ucap seorang pria yang sedang menyetubuhiku dari belakang.

“Hhmm,, mmmmpphh,” aku menutup erat bibirku, menahan agar tidak merintih, menolak untuk menikmati pergumulan ini.

“Oough,, aaahh,, ngentotin kamu pake seragam gini, bikin aku tambah bergairah Fit,, ooughh nggak bosen-bosen aku ngentotin memekmu Fit,” ceracaunya lagi melecehkanku.

Aku berdiri menungging, tubuhku tertelungkup di meja, sementara kedua tanganku ditelikung di punggungku sambil dipeganginya. Baju seragamku masih lengkap, bagian atas belum terbuka sama sekali, sedangkan rok cokelat tuaku sudah tersingkap hingga ke pinggang. Celana dalamku? Ah entah kemana rimbanya. Begitupun lelaki di belakangku. Atasannya masih lengkap, sementara celana dan celana dalamnya melorot sampai mata kaki.

Penis hitam itu sudah 5 menitan mengaduk-aduk liang peranakanku. Aku berusaha keras untuk tidak menikmati permainan kasarnya. Wajahku menempel di meja, bibir terkatup dan mata terpejam, menekan keinginan untuk menikmati cumbuan lelaki itu. Air mata juga sudah sedari tadi menetes, namun tak ada iba darinya, tidak ada. Hanya nafsu binatangnya yang membuat kini dia mengasari liang vaginaku.

“Oouhh,, oooghh,, ngentot istri orang memang lebih mantap, apalagi memek kamu Fit, memek wanita terhormat, jauh lebih nikmat daripada pelacur-pelacur di pasar bunga itu,” aku semakin dilecehkan, bahkan dibandingkan dengan pelacur. Sakit rasanya hati ini, perih dan terhina, namun aku tak mampu berbuat banyak.

Tiba-tiba, BRAAAAKKK. Pintu ruangan ini didobrak sedemikian keras, hingga tubuh kami terlonjak saking kagetnya. Reflek ku turunkan rok dinasku, menyeka air mata yang sudah membasahi pipiku, saat melihat seseorang berdiri di depan pintu dengan wajah merah penuh amarah.

“Apa-apaan ini? Dasar biadab kamu Marto. Segera menghadap ke ruangan saya!” suara yang tegas dari pimpinan kami, Pak Wijaya.

***
Kriiiiiiiinggg.. Kriiiiiiiinggg..

Aku tersentak bangun seketika oleh bunyi alarm, nafasku memburu, badanku basah oleh peluh. Mimpi buruk itu datang lagi, entah sudah keberapa kalinya. Mimpi, yang memang benar-benar terjadi beberapa minggu sebelum kepergian suamiku. Ketika aku sedang dipaksa melayani nafsu lelaki itu, ketika atasan kami memergoki kami dan akhirnya kami harus menghadap.

Sebelum sempat dipergoki oleh atasanku, berkali-kali sudah aku dipaksa melayani nafsu bejat rekan kerjaku ini. Marto namanya, dia adalah oknum petugas yang memeliki moral yang bejat, tabiatnya buruk. Selain aku, Marto sudah berhasil memaksa beberapa orang wanita untuk menjadi pelayan nafsunya, baik itu sesama rekan kerja, maupun istri-istri rekan kerjaku.

Terutama bagi anggota yang masih baru, ada saja cara Marto mendekatinya. Ada yang berhasil dia gauli dengan pemaksaan, ancaman, dan juga bantuan obat perangsang, seperti yang pernah dia lakukan kepadaku. Setelah berhasil meniduriku, dia berkali-kali memintaku melayani nafsu binatangnya, kadang di kantor saat kondisi sudah sepi, tapi lebih seringnya kami melakukan itu dirumahnya.

Kalau sudah berada di rumah kontrakan Marto, kami harus selalu siap dijadikan apapun untuk memenuhi fantasinya. Aku bahkan pernah mendengar cerita dari seorang juniorku, dia dan seorang lagi, dipaksa melayani Marto dan dua orang teman premannya. Mendengar itu aku sempat bersyukur, aku tidak pernah dipaksa melayani orang lain lagi.

Namun sore itu, nampaknya menjadi hari sial bagi Marto. Saat dia sedang memaksaku melayani nafsunya di kantor, saat itulah perbuatannya tertangkap basah oleh Pak Wijaya, atasan kami, yang membuatnya murka.

Pak Wijaya sempat melihat bagaimana aku terlihat seperti dipaksa, tidak menimpakan kesalahan berat ke aku. Aku hanya dikenai sanksi ringan, sementara lelaki yang menyetubuhiku diberikan sanksi berupa mutasi ke daerah terpencil di luar pulau sana, dan kabarnya penurunan pangkat, entahlah tapi aku bersyukur bisa lepas dari cengkraman birahinya, dan bersyukur suamiku tidak harus sampai mengetahuinya.

Peristiwa itu sudah setahun lebih, tapi masih saja datang di mimpi-mimpiku, yang membuatku selalu merasa bersalah kepada mendiang suamiku. Semakin bersalah lagi ketika pada akhirnya justru Pak Wijaya, orang yang begitu kuhormati sebagai panutan, yang berhasil membuat tubuhku ini menjadi miliknya. Meskipun dengan perlakuan yang beda, lembut dan penuh kasih, bahkan sangat perhatian kepada putriku. 

Haah sudahlah, aku segera saja membersihkan diri, bersuci dan beribadah. Lalu melakukan aktivitasku sehari-hari. Tapi hari ini, sekalian menyiapkan keperluan untuk jalan-jalan bersama anak dan mertuaku ini. Hari ini, totally is family time, so don’t let anything disturb our plan.

Hari ini aku mengajak Andin dan mertuaku ke mall, untuk membelikan perlengkapan sekolahnya, dan sekalian agar Andin bisa bermain-main di time zone. Sesekali bolehlah mengajaknya ke mall, setelah minggu lalu kami berwisata di kawasan pantai Gunung Kidul yang indah.

Setelah sekitar 3 jam berkeliling dan belanja, kamipun menuju food court di lantai atas mall ini untuk mengisi perut. Melihat ekspresi kegembiraan gadis kecil ini, membuatku dan neneknya turut merasa bahagia, apalagi saat melihat anak itu makan dengan lahapnya. Aku bersyukur, dia masih bisa sebahagia ini tanpa kehadiran ayahnya. Bahkan pernah saat seseorang bertanya dimana ayahnya, dengan tersenyum dia menjawab, “ayah udah tenang di surga om”.

Sekitar 30 menit kami berada disini, sampai mataku sekilas menangkap bayangan seseorang tengah mengamati kami dari kejauhan. Aku tajamkan pengelihatanku, wajah yang familiar, sangat familiar, sedang tersenyum ke arah kami.

Deg, aku tersentak, wajahku memucat sesaat, tanpa disadari oleh anak dan mertuaku. Tak lama orang itu pergi menjauh dari pandanganku, menghilang di antara keramaian pengunjung. Orang itu, dia ada disini. Dia kembali, tapi bagaimana mungkin? Perasaanku menjadi tak enak. Kegelisahan menyelimutiku, namun segera kusembunyikan dibalik senyumku saat Andin memanggilku. Tapi, apakah itu benar-benar dia? Bagaimana mungkin dia bisa ada disini? Sebuah kebetulan, ataukah…?

***

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar

Berkomentaralah Dengan Baik yng berisi kritikan , Masukan Demi Kalangsungan Blog kita Bersama ini