Vanquish Chapter 04 Do You Feel It?

Posted by Unknown

Lanjutan Dari

June, 10th 2014
POV Nadya

Masih jam 06.55 saat aku tiba di gerbang kantorku, melihat mobil yang dikemudikan suamiku berlalu. Setiap hari aku memang diantar berangkat kerja oleh suamiku. Dan seperti biasanya, aku selalu datang lebih pagi dibandingkan yang lain, karena setelah mengantarku, suamiku juga harus segera menuju ke tempat kerjanya, yang jaraknya cukup jauh dari kantorku.

Kondisi masih sepi, hanya kulihat beberapa rekanku sedang memarkirkan kendaraan mereka, tukang kebun yang sedang membersihkan taman, seorang OB yang sedang mengepel lantai teras kantorku, dan seorang satpam yang sedang berjaga di pos.

Aku segera saja melangkahkan kakiku memasuki gerbang kantor, tempatku bekerja 3 tahun belakangan. Pepohonan yang rindang menyambut kedatanganku. Cukup segar udara pagi ini, meskipun sudah beberapa hari tidak turun hujan, tapi tukang kebun kami yang cukup telaten merawat dan menyirami halaman membuat kondisinya tetap hijau, segar dipandang mata.

“Selamat pagi Bu Nadya,” sapa seorang satpam dari pintu pos membuyarkan lamunanku.
“Eh selamat pagi Pak Wit, kok sendirian aja pak?” balasku sambil tersenyum padanya.

“Iya nih bu, Pak Darmin hari ini nggak masuk, ngantar anaknya ke puskesmas katanya bu,” jawab Pak Wito.
“Lhoh, sakit apa anaknya pak?” tanyaku.

“Katanya cuma demam biasa aja sih bu,” jawabnya.
“Ohh, ya moga-moga cepat sembuh ya pak. Kalau gitu saya masuk dulu pak,” kataku sambil berjalan masuk menuju kantorku.
“Amiiin, iya bu silahkan,” jawabnya sambil tersenyum.

Pak Wito memang sangat ramah orangnya. Meskipun badannya tinggi besar dan terkesan sangar, tapi sangat baik, terutama kepada kami karyawan disini. Dia bersama Pak Darmin sudah cukup lama bekerja disini, dan selama itu pula tidak pernah ada masalah soal keamanan maupun yang lain di kantor kami.

Aku segera menuju meja kerjaku di lantai 2, meletakan tas di kursi lalu merapikan beberapa berkas di mejaku. Aku melirik meja di sampingku, meja ini sudah 2 minggu lebih kosong, penghuninya sedang berbulan madu. Tapi semalam dia mengirim wasap, katanya hari ini sudah akan masuk. Wah aku nggak sabar nunggu ceritanya selama bulan madu ke Maldives, dan nggak sabar nunggu oleh-olehnya juga sih, hehe.

Suasana masih sepi, teman-temanku yang tadi kulihat memarkirkan kendaraanpun belum masuk ke ruangan, mungkin mereka masih bersantai di luar sambil merokok. Sekilas kusapukan pandanganku mengelilingi ruangan ini. 

Lalu mataku tertuju pada sebuah ruangan kecil di salah satu sudut. Ruangan kepala dinasku. Masih tertutup tirainya. Ruangan yang beberapa kali, menjadi tempat buatku, dan rekanku Aliya, beraktivitas diluar pekerjaan kami bersama Pak Dede, kepala dinasku. Entah hanya aku dan Aliya saja, atau ada yang lain yang pernah beraktivitas demikian di ruangan itu, aku tak tahu pasti.

Mengingat hal-hal itu membuatku tersenyum simpul. Bisa-bisanya kami melakukan hal seperti itu di kantor. Meskipun melakukannya pada jam istirahat atau seletah pulang kantor, aaat suasana sudah cukup sepi, namun tetap saja diliputi rasa was-was andai saja ada yang kembali dan mendengar suara kami. Dan hal itu memang menimbulkan sensasi tersendiri.

Yah, bagiku ini adalah satu-satunya penyelewangan yang kulakukan terhadap suamiku, paling tidak sampai sejauh ini. Dan begitu juga dengan Aliya, menurut pengakuannya. Kami sama-sama tahu bahwa kami punya affair di kantor ini dengan pimpinan kami baru saja seminggu yang lalu, saat tak sengaja aku keceplosan bercerita pada Aliya tentang kejadian saat pesta pernikahan Ara.

Mendengar pengakuanku itu, Aliya juga akhirnya membuat pengakuan bahwa dia juga melakukan hal yang sama, bahkan sudah berlangsung lama, sejak aku baru masuk kerja disini. Untung saja saat itu hanya ada aku dan Aliya, sehingga hal ini tetaplah menjadi rahasia bagi kami berdua.

Tak berapa lama kemudian lamunanku kembali dibuyarkan oleh tawa teman-temanku yang memasuki ruangan. Mereka datang bersamaan. Aliya, Kartika, Wulan, Faisal, Eko dan Riko. Mereka terlihat masuk dengan membawa beberapa bungkus plastik gorengan dan menenteng botol minumnya masing-masing.

“Eh eh, mbak kuncen udah dateng rupanya, hahaha,” ledek Riko kepadaku.
“Apaan sih Ko, emang biasanya kan aku paling pagi datengnya, weeek,” balasku.

“Haha, jangan sambil melet dong Nad, bikin gemes aja, hahaha. Lagian jangan manggil Ko deh, udah dibilangin manggil Rik aja,” jawab Riko.
“Haha, biarin biar bingung kalian,” balasku tertawa.

Kami memang sering menggoda Eko dan Riko. Kalau keduanya lagi bareng gini, kita panggil Ko, ya meskipun pengucapannya beda, pasti pada nengok, dan setelah itu pada ngomel. Makanya untuk membedakannya si Riko lebih sering kami panggil Rik.

“Lia, bagi dong gorengannya, hehe,” pintaku pada Lia.
“Hadeeh kebiasaan ya miss kuncen ini, padahal dateng paling awal tapi nggak pernah bawa apa-apa,” jawab Lia manyun.

“Hehe, kan pas aku dateng tadi belom mateng gorengannya,” jawabku sambil tersenyum.
“Halah ada aja ni alesannya, untung aku udah hapal, makanya ni tak bawain banyak, hehe,” jawab Lia.

Lia memang hampir setiap pagi mensubsidiku dengan gorengannya, karena aku memang jarang beli sendiri. Aku sebenarnya nggak terlalu suka gorengan, cuma kadang-kadang ikut makan barengan temanku ini, kalau kata orang jawa sih tombo pengen aja.

Kami masih lanjut ngobrol dengan saling ledek diantara kami, sambil menghabiskan gorengan itu ramai-ramai. Ini sudah menjadi rutinitas setiap pagi sebelum memulai pekerjaan, makanya mungkin sering disebut pegawai negeri santai kali ya, padahal ya sebenernya nggak sesantai itu juga sih, kalau yang bener kerjanya, hehe.

Tak lama obrolan kami dibuyarkan dengan kedatangan seorang makhluk manis yang sudah aku tunggu dari tadi.

“Haaaiiiiii pagii semuanyaaaa,” kamipun langsung menoleh ke sumber suara.
“Araaaaaaaaaa,” kami yang perempuanpun langsung berhambur ke arahnya, lalu bergantian memeluki dan mencipika-cipiki Ara.

“Akhirnya masuk juga, yang baru pulang dari Maldives, oleh-olehnya mana sayang?” cerocosku begitu memeluknya.
“Ihh Nadya, tanya kabar kek malah nanya oleh-oleh,” jawabnya sambil manyun.

“Lha ngapain? Kan udah jelas kamu disini sehat wal afiat gini, yang belum jelas kan oleh-olehnya Ra,” potong Lia sebelum aku sempat menjawab.
“Tuh kan Lia juga gitu deh,” Ara makin manyun saja, makin nggemesin.

“Hehe, bercanda Raa, gitu aja ngambek deh,” jawabku sambil mencubit pipinya gemas.
“By the way gimana honeymoon kalian ra? Asik nggak?” tanya Tika.

“Hehe, asik dong, disana keren banget lho, entar aku kasih liat deh foto-fotonya,” jawab Ara.
“Lhah, kamu mau kasih liat foto kamu sama suamimu lagi gitu-gitu Ra?” tanya Tika.

“Yaa nggak lah dodol, maksudnya foto-foto pemandangan disana, huu,” jawabnya sambil menoyor kepala Tika.
“Hahaha, lagian kamu sih Tik, itukan file pribadi,” sambungku.
“Yaa kali aja Nad, haha,” jawab Tika sambil tertawa.

“Eh ni aku ada oleh-oleh buat kalian,” kata Ara sambil mengeluarkan bungkusan-bungkusan kecil.
“Wahaha, udah dipaketin aja Ra, jadi nggak bisa milih ni kita,” ucap Lia.

“Tenang aja, ini isinya sama semua kok, hehe,” kata Ara.
“Lha kita-kita dapet juga nggak Ra?” tanya Riko mendekati kami.

“Tenang aja Rik, dapet semua kok,” jawab Ara.
“Waah makasih yaa Ra, hehe,” jawab Riko cengengesan.

“Waah ada apa ini ramai-ramai? Eh pengantin baru kita udah dateng tho?” Pak Dede yang baru saja datang langsung nimbrung bersama kami.
“Eh bapak, iya nih pak, hehe, ini ada sedikit oleh-oleh buat bapak,” jawab Ara sambil menyodorkan bungkusan tadi ke Pak Dede.

Akhirnya pagi itu kami agak telat memulai pekerjaan, karena masih asik ngobrol dengan Ara yang baru pulang bulan madu. Dia juga menunjukkan beberapa foto keindahan Maldives. Wah aku jadi pengen kesana deh. Dulu memang pernah ada rencana untuk bulan madu kesana, tapi akhirnya aku dan suamiku lebih memilih ke Thailand. Mungkin lain waktu bisalah direncanain liburan kesana.

Siang itu kami makan siang bareng-bareng satu unit, bersama Pak Dede juga. Kami makan siang di rumah makan di daerah jalan Magelang yang menunya terbuat dari jamur semua. Setelah itu pulangnya kami mampir ke tempat karaoke di daerah ringroad utara, meskipun tidak semua ikut karena memang masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan.

Jadinya yang ikut karaoke kali ini hanya aku, Lia, Ara dan Pak Dede saja, sedangkan yang lain kembali ke kantor. Pekerjaan kami yang tidak terlalu banyak hari ini sudah kami bereskan, apalagi Pak Dede memang orangnya enak banget, malah beliau yang tadi mengusulkan untuk pergi karaoke.

Kamipun asik berkaraoke hingga jam 5 sore. Akupun pulang numpang mobilnya Ara, sedangkan Lia bareng Pak Dede karena rumah mereka memang searah. Di dalam mobil kami masih asik ngobrol tentang bulan madu Ara. Aku coba korek-korek apakah ada hal yang ‘seru”, tapi kata Ara semua ‘normal-normal’ aja.

Akhirnya aku sampai rumah. Setelah melepas kepergian Ara, aku memasuki gerbang rumahku dan langsung disambut oleh Zafran anakku. Gemas sekali aku melihat tingkahnya yang sedang digendong pembantuku. Melihatku datang dia langsung menggerakkan kedua tangannya memberikan kode minta dipeluk.

“Undaaaa,, Undaaaa,” celoteh anakku.
“Iya sayaaang, sini peluk bunda,” aku langsung meraih dan memeluknya, mengecupi wajahnya hingga membuatnya tertawa kegelian.

Anak ini manis sekali, sangat menggemaskan. Secapek-capeknya aku pulang kerja kalau sudah melihat anakku ini, seolah-olah langsung hilang semuanya. Senyuman Zafran menjadi obat penghilang rasa capek paling manjur di seluruh dunia.

Sambil menggendong Zafran akupun masuk rumah. Suamiku belum pulang jam segini, biasanya nanti setelah maghrib baru sampai rumah. Jogja sekarang begitu padat lalu lintasnya. Makin banyak pendatang, terutama pada mahasiswa, yang mayoritas membawa kendaraan masing-masing.

Tak berapa lama terasa ponselku bergetar, sebuah pesan masuk. Ada sebuah wasap dari nomor yang tidak aku kenali. Masih sambil menggendong Zafran kubuka pesan itu. Begitu terbuka pesan itu muncullah sebuah foto yang amat mengejutkanku. 

Foto aku sedang tidur tertelungkup ditindih oleh suamiku, di kamarku, dengan pakaian biru yang masih aku kenakan. Ini foto waktu aku habis bercinta dengan suamiku sepulang kami dari nikahan Ara. Di bawah foto itu ada tulisan, ‘silent, could be better’.

Aku segera menghubungi nomor itu. Tidak aktif. Aku coba beberapa kali tapi tidak tersambung. Aku mengirimkan pesan menanyakan siapa orang ini, tapi pending. Siapa orang ini? Kenapa bisa punya fotoku saat aku sedang di rumah? Apa mungkin pembantuku? Ah tidak mungkin dia sampai melakukan hal ini, ponselnya saja masih yang jadul. Lalu siapa?

***

Hari yang sama
Soetta International Airport

POV Mr. X


Kembali kulirik jam tanganku, seharusnya dia sudah datang, aku paling malas kalau disuruh menunggu seperti ini, tapi demi sebuah rencana besarku, terpaksa harus kulakukan. Dari dalam mobil Ashton Martin Vanquish miliki, aku melihat seorang pria yang sedari tadi aku tunggu, berjalan menuju mobilku. Pria itu langsung membuka pintu mobil, langsung duduk dan menyalamiku.

“Malam boss, sorry lama nunggu, antri bagasi lama tadi boss,” ucap pria itu.
“Malam. Sudahlah, kau sudah bawa yang aku minta?” tanyaku.
“Beres boss, sudah saya siapkan hasilnya, nanti bisa boss pelajari dulu,” jawabnya.

Tanpa menjawab lagi, kulajukan mobil bermesin 6000cc ini membelah jalanan ke arah salah satu apartemen milikku. Aku sudah tak sabar ingin membaca laporan orang ini. Agar aku bisa segera memulai aksiku. Sudah lama aku menantikannya, membuat perhitungan dengan seorang kawan lamaku, sekaligus membalaskan dendam orang yang aku jemput ini.

Sesampainya kami di apartemen, dia segera menyerahkan sebuah flashdisk kepadaku. Aku langsung menancapkan ke laptopku dan membuka file yang dimaksud, sambil mendengarkan keterangan darinya.

“Oke boss, kita mulai dari target boss. Setelah hampir 2 bulan saya pelajari, dia masih belum menyadari ada kaitan saya dengan anak buah boss. Mereka masih belum tahu siapa yang membocorkan operasi itu,” terang pria itu.

“Setelah operasi itu, mereka menganggap kasus ini selesai. Boleh dibilang untung orang-orang itu mati semua boss, dengan begitu posisi boss masih aman,” lanjutnya.

“Untung gundulmu, kalau nggak gara-gara otak mesum kamu itu nggak bakal mereka mati. Nggak bakal jaringanku di Jogja mati. Kamu tahu kan betapa potensialnya pasar di Jogja sana?” timpalku mulai emosi.

“Iya iya boss maaf, itu salah saya. Gara-gara operasi itu jaringan kita di Jogja dan Jawa Tengah harus tiarap dulu cukup lama. Tapi saya kan juga sudah membuka jaringan di luar pulau boss,” jawabnya.

“Ah sudahlah, lanjutkan saja,” potongku sewot.

“Oke boss, saya lanjutkan. Saya sudah kumpulkan informasi-informasi terkait orang-orang yang ada dalam lingkungan Wijaya maupun keluarganya. Untuk menjalankan rencana boss, nggak cukup dengan hanya keluarga intinya saja, karena itu saya juga sudah memantau beberapa orang lain, datanya ada di file itu boss,” terangnya kembali.

“Yang pertama, target kita, Wijaya. Topengnya masih kuat boss, dia masih jadi figur yang baik di mata keluarga dan lingkungannya. Dia masih jadi panutan di kepolisian. Tapi setelah kejadian itu dia memiliki affair dengan anak buahnya, Safitri, bahkan sampai sekarang. Tidak ada yang tahu, kecuali mungkin supirnya si Sarbini,” aku menyimak penjelasannya.

“Apa cuma Safitri?” tanyaku memotongnya.
“Nggak boss, ada beberapa lagi, tapi sudah pindah tugas semua. Lagipula saya tidak punya bukti-buktinya, jadi saya rasa mereka sudah nggak berguna lagi,” jawabnya.
“Okelah, lanjut aja, saya sudah tahu juga kok siapa saja orang-orangnya,” perintahku.

“Dosa masa lalu Wijaya, belum ada yang tahu sampai sekarang, kecuali kita, dan anak buah boss di Semarang itu. Memang sekarang dia sudah meninggalkan hal-hal, tapi affair yang dia lakukan sekarang bisa kita manfaatkan, saya sudah dapat buktinya juga,” lanjutnya.

“Ini istrinya, Aini. Tidak ada hal yang istimewa, hanya ibu rumah tangga biasa, mengelola sebuah butik disana.”

Aku memandang foto wanita yang kini sudah beranjak tua itu. Tidak ada yang istimewa? Kamu salah.

“Ini anaknya, Tiara, seringnya dipanggil Ara. Sekarang 24 tahun, PNS. Baru 3 minggu yang lalu menikah, dan kalau tidak salah hari ini hari pertama dia masuk kerja setelah pulang dari Maldives. Ini suaminya, Budi. Saya rasa boss sudah pernah tahu anak ini. Sekarang dia kerja di bank BUMN di deket kampusnya,” lanjut pria itu.
Tiara Dharma Saraswati

Aku memandangi foto Ara, foto saat pernikahan dan satu foto lainnya.Hmm, Ara, sudah dewasa kamu sekarang nak. Cantik sekali, mirip dengan ibunya saat muda dulu, tapi terlihat lebih anggun, lebih tertutup. Tapi, apakah dia juga senikmat dan sehangat ibunya dulu? Atau mungkin malah lebih nikmat lagi? Pikirku mulai menerawang, tapi aku melanjutkan kembali menyimak penjelasan pria itu.

“Mungkin di lingkarang keluarga Wijaya, Budi ini yang harus kita waspadai. Dia orangnya cerdas, kita harus main halus dan sabar menghadapi orang seperti ini boss, tapi saya juga sudah mendapat info penting soal Budi, yang memiliki affair dengan seorang wanita selama pacaran dengan Ara, wanita itu teman satu kampus Budi,” terang pria itu.

“Budi ini punya 2 orang kakak perempuan, yang pertama Utami Filianingsih, dipanggil Filli, 31 tahun, sudah berkeluarga, punya 2 anak. Tinggal di Jawa Timur, ikut suaminya yang seorang pengusaha. Saya belum banyak informasi soal Filli, karena memang baru ketemu waktu nikahan Budi.”

“Ini kakak keduanya, Renata Dwi Hapsari, dipanggil Rena. 29 tahun, sudah berkeluarga punya 1 anak. Suaminya seorang auditor, sering tugas keluar kota. Mereka tinggal di Solo. Saya belum tahu rekam jejak Rena ini sebelumnya seperti apa, tapi kemarin dia baru saja terlibat orgy setelah pesta pernikahan adiknya,” pungkasnya.


Hmm, bangsat juga si Budi ini, kedua kakaknya boleh juga, cantik-cantik gini, malah ada yang ikut orgy segala. Bisa jadi selingan ini, biar nggak jenuh ngurusin Wijaya saja.

“Ini Safitri, anak buah Wijaya yang sampai sekarang masih jadi simpanan si berengsek itu. Perempuan yang sudah membuat saya harus dipermalukan dan dibuang ke luar pulau. Itu data-data dari lingkaran keluarga Wijaya sama Budi boss. Data lengkapnya sudah saya tulis di file itu,” pungkasnya.


Aku membaca sekilas file yang sudah disiapkan pria itu. Cukup lengkap, dari umur sampai ke kebiasaan-kebiasaan kecilnya. Rasanya aku tak rugi menunggu 2 bulan untuk mendapatkan informasi ini. Lalu pandanganku terhenti di foto dan deskripsi Safitri. Cantik. Anak buah Wijaya, yang membuat si Marto goblok ini harus dibuang jauh ke luar pulau, membuat bisnisku jadi tersendat cukup lama.

Aku tau Marto memiliki affair dengan perempuan ini. Kebiasaan Marto yang rajin menggoda perempuan-perempuan cantik di sekitarnya membawanya ke Safitri. Setelah berhasil dia kuasai dengan obat perangsang pemberianku, belum sempat aku mendapat jatah, malah kepergok sama Wijaya sialan itu.

Akibatnya dia harus diberi sanksi dan diasingkan, sehingga aku tidak bisa lagi mendapat informasi aktual darinya. Akibatnya saat kelompokku di Jogja digerebek polisi, informasinya sangat terlambat, hingga anak buahku mati semua di tangan polisi.

Ternyata operasi ini adalah instruksi dari Wijaya. Si bangsat ini kembali menjadi batu sandungan buatku. Semakin menambah dendamku kepadanya, setelah dendam masa lalu yang belum juga padam. Luka lama yang terkuak lagi.

“Hmm, bagus, lumayan lengkap data yang kamu siapkan ini. Oke lanjut,” perintahku setelah sekilas membaca file yang disiapkan Marto.

“Kita lanjut ke lingkungan kerja Ara boss. Saya masuk kesini, karena bossnya Ara ini bisa kita manfaatkan untuk membantu rencana kita secara tidak langsung. Bossnya ini namanya Dede, 41 tahun. Di Jogja tinggal sendiri, istri dan anak-anaknya menetap di Bogor. Dibalik sikapnya yang sok baik itu, dia juga suka main perempuan,” lanjut Marto.

“Suka main perempuan apa karena jauh dari istrinya aja?” potongku.

“Kalau aslinya saya belum tahu boss, yang jelas, sekarang ini dia kayak gitu,” jawabnya.

“Ini Nadya, teman Ara, anak buah si Dede, salah satu wanitanya. Umurnya 25 tahun, anaknya 1. Saya tahu dia ada main sama Dede waktu ngikutin si Ara. Sepulangnya dari pernikahan Ara saya mengikutnya pulang, dan akhirnya saya dapat foto yang bagus, nah ini boss fotonya,” ujarnya sambil menunjuk sebuah foto.

Nadya Agustina

Foto seorang wanita berkerudung, sedang terlelap ditindih suaminya. Baju atasnya masih menempel di badannya, tapi bawahannya sudah polos, menampakkan belahan kemaluan yang meneteskan lendir. Dasar gendeng si Marto ini, bisa-bisanya dapat foto seperti ini, nggak rugi aku mengajarinya.

“Foto ini tadi sore saya kirimkan ke wasap dia boss, pakai nomor baru saya, setelah itu saya matikan lagi ponsel saya. Ini langkah awal, seperti rencana boss,” ujar Marto.

“Hmm bagus bagus, nantinya semua harus kami buat seperti itu,” jawabku.

“Siap boss. Nah yang ini Aliya, salah satu wanita si Dede pula. 27 tahun, anaknya 2, suaminya seorang guru. Saya belum sempet ambil foto ataupun video Aliya sama Dede, tapi saya sudah beberapa kali melihat mereka pergi berdua boss,” terangnya.

Aliya Salsabila

“Ini saja orang-orang yang kamu selidiki?” tanyaku.

“Sementara ini iya boss. Sebenarnya saya mau nyelidiki si Dede ini boss. Saya yakin selain Nadya dan Aliya, masih ada karyawannya yang sudah dia embat, tapi saya belum dapat infonya. Dan saya curiga dia juga bakal mengincar anak Wijaya,” jawabnya.

“Lalu bagaimana dengan Sarbini? Supir si Wijaya? Apa bisa kita manfaatkan dia juga,” tanyaku.

“Oh iya, untuk si Sarbini ini, agak sulit boss. Dia itu loyalis sejatinya Wijaya. Dia berhutang nyawa anak dan istrinya, jadi mungkin dia akan cukup sulit untuk kita ajak menghandurkan Wijaya, tapi saya baru aja nemuin celah kemarin boss,” jawabnya.

“Saya baru tahu dia punya hubungan dengan seorang wanita muda, ini dia boss. Namanya Magenta Kurniasari atau Tata, dia kemarin jadi wedding organizer untuk pernikahan putri Wijaya. Saya belum banyak info soal dia boss, jadi saya belum punya rencana untuk si Sarbini ini boss,” lanjutnya.

Magenta Kurniasari

“Oooh, si Tata,” potongku.
“Lhoh, boss kenal?” tanya Marto.
“Iya, sangat kenal,” jawabku tersenyum, bertambah lagi sekutuku, mempermudah jalannya rencanaku.

“Oke, sementara ini dulu sudah cukup. Kalau ada perkembangan segera selidiki dan update datanya ke aku. Dan ingat Marto, jangan sekali-kali kamu membuat kebodohan seperti dulu lagi. Tahan dulu syahwat kamu itu. Kamu jajan saja di luar, cari yang aman, jangan sampai tergoda untuk mendekati mereka dulu, atau menggoda wanita-wanita lainnya. Aku tidak mau rencana kita gagal gara-gara ketotolan kamu, mengerti?” tanyaku.

“Siap boss, kali ini saya bakal main aman boss. Seperti janji saya kemarin, saya baru akan mendekati mereka kalau sudah boss cicipi,” jawabnya tersenyum.

“Oke, aku pegang omongan kamu ini. Kalau sampai kamu membuat kekonyolan lagi, kamu yang pertama kusingkirkan Marto,” ucapku.

“Oke boss. Lalu, bagaimana rencana kita selanjutnya boss?” tanyanya.

“Kita tetap seperti rencana kita untuk tahap awal ini, kita lihat dulu reaksi mereka seperti apa, baru kita tentuin langkah selanjutnya. Aku akan buat Wijaya mati pelan-pelan karena sudah berurusan denganku,” ucapku penuh amarah.

“Siap boss. Saya akan membantu semaksimal mungkin, karena saya juga punya dendam dengannya,” ujar Marto.

“Baiklah, aku pulang dulu. Kalau mau hubungi saja Cindy atau Martha untuk menemanimu malam ini, atau mau jajan perek-perek diluar, terserah kau saja.”

“Baik boss, makasih banyak, hehehe,” jawabnya cengengesan.

Aku melajukan mobilku menjauhi apartemen ini. Beragam rencana bermunculan di otakku. Dengan bantuan Marto yang sakit hati pada Wijaya, dan bantuan 1 orang lagi sekutuku di Semarang sana, aku akan mulai mengusik ketenangan hidup kawan lamaku itu.

Dulu, sebenarnya aku kenal baik dengan Wijaya. Dia salah satu dari oknum petugas yang bisa aku ajak dan aku mintai backing untuk bisnisku ini. Namun karena hadirnya seorang wanita membuat hubungan kami renggang. Puncaknya saat wanita itu lebih memilih wijaya daripada aku.

Lambat laun aku merelakannya, dan akhirnya menemukan wanita lain untuk mendampingi hidupku. Namun, suatu hari Wijaya datang kepadaku, dan mengatakan kalau akan ada razia besar-besaran, dia menyuruhku untuk lari saja, dan berjanji tidak akan membawa-bawa namaku. Namun ternyata itu semua tak lebih dari skenario Wijaya.

Aku memang bebas, tidak tertangkap, tapi bisnisku hancur. Aku meninggalkan Jogja, menuju ke ibukota. Meneruskan perusahaan yang dirintis oleh ayahku, sambil mengembangkan bisnis sampingan yang selama ini memberiku keuntungan yang melimpah.

Beberapa bulan setelah aku kembali ke ibukota ini, aku mendapatkan kabar dari seorang kawan, bahwa razia itu dilakukan karena ada informasi dari seorang petugas, yang ternyata tak lain adalah Wijaya sendiri. Dan berkat kesuksesan razia itu, tak lama kemudian dia naik jabatan.

Mendengar itu darahku mendidih. Tak pernah terbayangkan ternyata aku dikhianati oleh sekutuku sendiri. Aku sangat murka. Kamarahan yang teramat sangat ini membuatku bersumpah untuk menghancurkan hidupnya.

Dan kurang lebih satu tahun yang lalu, dia kembali mengusikku. Jaringanku di Jogja dimatikannya, bersamaan dengan matinya orang-orang kepercayaanku. Bisnis yang sudah kurintis sedemikian rupa selama 10 tahun, hancur begitu saja. Dendamku kembali bergolak. Dendam 26 tahun yang lalu bahkan muncul lagi. Kali ini aku benar-benar murka. Ketenanganku diusiknya lagi. Kali ini aku akan menghancurkan hidupnya, dan orang-orang terdekatnya. Ini akan menarik, lebih menarik daripada 20 tahun yang lalu. 

Tunggu saja Wijaya, nikmatilah kebahagianmu sekarang. Karena aku akan segera menghancurkanmu. Kamu harus merasakan kehancuran, lebih dari apa yang pernah aku rasakan. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kamu hancur, sampai kamu bisa merasakan kemarahanku yang terdalam. 

***

Waktu yang sama
Di sebuah perumahan elit di Jogja

POV Budi

Aku memarkirkan mobilku di garasi rumah. Kulihat mobil istriku sudah terparkir juga. Rumah ini sekarang terasa ada aura kehidupannya setelah ada istriku. Dulu sebelum menikah, rumah ini seolah hanya menjadi tempat singgah saja. Tidak banyak aktivitas yang kulakukan di rumah ini.

Aku memasuki rumah, dan segera disambut oleh senyuman manis istriku. Senyuman yang entah bagaimana caranya bisa menyapu semua lelah dan penatku setelah bekerja seharian. Senyuman yang menemani setiap waktu kebersamaan kami. Aku rasa ini senyuman paling indah di dunia, dan aku bersyukur akulah lelaki yang beruntung memiliki senyuman itu.

“Assalamualaikum,” salamku.
“Waalaikumsalam. Duh suamiku tersayang baru pulang, laper ya mas?” jawab Ara menyambutku sambil mencium tanganku.

“Iya nih dek, laper banget, tapi masih kalah sama kangennya aku ke kamu,” jawabku menggodanya.
“Haha, gombal banget ih, baru juga sehari nggak ketemu”, jawab istriku.

“Biarin, gombal sama istri sendiri kok, hehe.”
“Ya udah, mandi dulu mas, terus ganti baju, adek siapin makan malam dulu,” kata istriku.

Akupun segera membersihkan diri, dan menyusul istriku ke ruang makan. Kamipun makan malam bersama diiringi cerita tentang aktivitas kami seharian.

“Gimana tadi acara karaokeannya dek?” tanyaku membuka obrolan.
“Asik sih mas, tapi sayangnya nggak semua bisa ikut,” jawabnya.

“Lha emang tadi siapa aja?” tanyaku lagi.
“Tadi berempat aja mas, aku, Nadya, Lia sama Pak Dede. Lagian sih Pak Dede ngajaknya pas masih jam kerja gitu, kalo pulang kerja kan bisa ikut semua,” jawab istriku.

“Haha, biar aja sekali-kali dek, itung-itung penyambutan buat kamu kan, kapan lagi coba?” balasku.
“Hehe, iya sih mas. Pak Dede ternyata jago nyanyi juga lho mas, dari lagu dangdut sampai lagu metal, haha,” cerita istriku.

“Haha, keren dong semua jenis lagu bisa?” jawabku geli.
“Iya mas. Eh tapi tadi Pak Dede rada-rada genit gitu mas,” kata istriku mengejutkanku. DEG!

“Genit gimana dek?” tanyaku penasaran.
“Iya, jadi kan kita tadi nyanyinya duet gitu mas ganti-gantian. Nah pas nyanyi duet tu kami diajaknya sambil berdiri sambil goyang gitu. Tapi dianya juga sambil ngerangkul gitu mas. Kalau yang aku liat tadi, kalau pas sama Nadya dan Lia, dia tu ngerangkul pundak gitu, terus ngerangkul pinggang juga, erat gitu deh mas, kalau sama aku cuma sempet ngerangkul pundak aja tadi sekali,” terang istriku.

“Oalah, ngerangkul aja? Tapi nggak lebih kan? Hehe,” tanyaku memastikan.
“Ya nggak lah mas, cuma gitu aja sih tadi, emang mau ngapain lagi, hehe,” jawab istriku.

“Kalau kamu tadi kegiatannya apa aja mas?” tanya istriku sebelum sempat aku bertanya lagi.
“Yah kalau aku sih biasa aja dek, tapi tadi agak lama pulangnya karena harus benerin sistem yang eror, tapi untung minor aja sih jadi bisa cepet diberesin,” jawabku.

“Lha emang kenapa kok eror mas?” tanyanya lagi.
“Salah pengoperasian aja. Tak kira tadi karena virus atau apa, ternyata cuma kesalahan kecil itu aja sih,” jawabku.

Kami melanjutkan obrolan di ruang keluarga sambil menonton tv. Aku sempat khawatir waktu Ara bilang Pak Dede genit-genit tadi. Sebenarnya sih bukan yang terlalu serius, hanya sebatas itu saja, masih aku tolerir lah. Tapi yang membuat aku was-was adalah, tadi sore ada seseorang mengirimkan pesan wasap kepadaku.

‘Cing, ati-ati, bini lu dalam bahaya.’
‘Maksudnya apa? Ini dengan siapa?’ balasku.
‘Lu ga perlu tau dulu gw siapa, dan jangan coba-coba melacak nomer ini, karena bisa bahaya buat kita.’
‘Sekali lagi aku tanya, ini siapa?’ tanyaku lagi.
‘Gw tau lu bingung dan ga percaya, tapi gw minta lu percaya ama gw, yg jelas gw ini temen lu. Gw dapet info, ada orang yg ngincer bini lu, tapi gw blm tau, mau dicelakain ato dilecehin, yg jelas lu mesti ati-ati. Ntar kalo ada info lagi gw kabarin lu. Abis ini lu apus aja chat gw, ga usah simpen nomer gw, gw bakal gonta ganti nomer biar ga kelacak,’ jelasnya panjang lebar.
‘Heh maksudnya apaan ini bawa-bawa istriku?’ aku mulai jengkel. Tapi chatku barusan pending.

Aku coba telepon nomor itu, tapi sudah nggak aktif lagi. Apa maksudnya semua ini? Ah pasti temenku aja iseng mau ngerjain. Temanku yang manggil Cacing dengan logat lu gw cuma ada 1 orang, langsung saja aku telepon dia.

“Hallo broo, weiss yang baru pulang honeyymoon yaa,” kata Sakti.
“Hallo Sak, eh kamu ngapain sih pake acara ngerjain segala?” tanyaku to the point.
“Ngerjain apaan Cing?,” tanya Sakti.
“Halah, itu wasap barusan,” jawabku.
“Wasap?wasap apaan lagi?” tanyanya lagi.
“Udah deh Sak jangan pura-pura bego gitu,” kataku lagi.
“Set dah, malah dikatain bego gw. Apaan sih Cing gw ga ngerti maksud lu dah,” ujar Sakti.
“Masih aja pura-pura sih Sak?” desakku lagi.
“Sumpah deh Cing ga ngerti gw apa yang lu omongin. Ngerjain apa sih bro? Minta duit? Minta pulsa? Hahaha,” jawabnya bercanda.
“Jadi beneran bukan kamu yang ngewasap tadi?” tanyaku memastikan.
“Heh pe’a, dari kapan gw maenan wasap? Kalo ada butuh ama lu tinggal gw telepon,” jawabnya.
“Ah sialan, siapa lagi ni yang ngerjain,” gerutuku.
“Eh Cacing, lu kan jago yang begituan, lu lacak kek, ketemu, gebukin, beres kan?” balas Sakti.
“Iya deh, biar tak lacak dulu Sak, sorry yaa udah ganggu, hehe,” jawabku.
“Iye iyee, dasar lu emang,” tutup sakti.

Aku jadi penasaran, siapa sebenarnya yang ngirim wasap ke aku. Apa cuma iseng, atau emang beneran istriku lagi ada yang ngincer? 

Sesorean tadi aku kepikiran sama Ara. Dia tadi ijin pergi karaoke bareng temen-temen kerjanya. Aku sempat khawatir, tapi dia perginya ramean, ada sahabat-sahabatnya. Apalagi Ara juga udah nyeritain tadi waktu karaoke ngapain aja. Aku mulai nggak tenang. Baru aja nikah 3 minggu udah ada ancaman gini. Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa pada kami.

Apa aku harus menuruti orang misterius itu tadi? Atau apa sebaiknya aku coba cari tahu sendiri siapa orang ini, dan apa motifnya sampai memberi pesan seperti itu. Apa yang jadi tujuannya? Kalau orang itu benar, bahwa ada yang mengincari istriku, lalu apa maunya dia memberi tahuku dengan cara seperti ini.

Lebih baik aku cari tahu saja, tapi seandainya memang orang itu serius, sepertinya harus melibatkan seseorang. Kalau aku yang bergerak sendiri mencari tahu, orang itu pasti juga memantau gerakanku. Ya, aku harus minta bantuan sahabatku yang 1 itu. Aku segera saja menghubunginya.

“Hallo, tumben bro telepon, ada angin apa nih?,” tanya orang itu.
“Hehe, iya nih bro, aku ada perlu,” jawabku.
“Masalah serius nih kayaknya? Sampai harus ngehubungi aku?” tanyanya lagi.
“Iya, aku mau minta tolong. Jadi gini…” aku menjelaskan keperluanku secara gamblang ke sahabatku itu.

“Owh gitu, okelah lah, aku bantuin,” ucapnya setelah mendengar penjelasanku.
“Hehe, makasih lho bro, sorry ngerepotin,” jawabku.
“Yaa tapi tahu sendiri yaa, biasa,” ucapnya lagi.
“Haha, masih aja ya. Beres lah, ntar aku siapin,” jawabku.

Segera aku menutup telepon, dan pulang ke rumah. Hal ini harus kurahasiakan dulu dari istriku. Dia nggak perlu tahu, dengan begini akan lebih baik, dan aku lebih bisa untuk mencari tahu siapa orang misterius yang mengirimiku pesan tadi.

***

POV Ara

Entah kenapa, aku melihat suamiku itu nampak lain, seperti ada yang membebani pikirannya. Dan sepertinya itu bukan masalah pekerjaan. Apalagi saat aku bilang kalau pas karaoke tadi Pak Dede agak genit, ekspresinya langsung berubah tegang, membuatku ragu menceritakan yang sebenarnya terjadi tadi, sehingga mau tak mau ada yang aku sembunyikan.

Sebuah kesalahan memang aku tidak berterus terang pada suamiku, tapi ketika melihat wajah leganya saat aku cerita tadi, membuatku ikut lega juga, meskipun tidak semuanya aku ceritain ke dia. Aku tidak ingin membuatnya semakin kepikiran, karena pekerjaannya membutuhkan pikiran yang fokus, agar pekerjaannya bisa diselesaikan dengan baik.

Biarlah, aku simpan saja rapat-rapat kejadian tadi sore itu. Hal yang kurasa belum perlu diketahui suamiku, karena setahuku dia juga sedang membutuhkan fokus yang lebih. Dia sedang mengikuti program intensif untuk proses kenaikan jabatan, jadi aku tak ingin menganggunya dulu dengan cerita tadi sore.

Tapi mengingat kejadian tadi sore, aku memang terkejut. Aku nggak habis pikir ternyata Pak Dede segitunya kalau sama Nadya dan Lia, meskipun tidak sampai sejauh itu sama aku. Aku memang baru sekali ini ikut karaokean bareng Pak Dede, beda dengan Nadya dan Lia. Mungkin itu sudah sering dia lakukan, makanya mereka tidak canggung lagi, beda ketika Pak Dede kepadaku.

Setelah beberapa kali kutepis, akhirnya kubiarkan saja dia berbuat seperti itu, karena kulihat Nadya dan Lia enjoy aja. Bahkan terkesan nggak peduli, karena beberapa kali aku melirik mereka waktu nggak duet bareng Pak Dede, mereka sibuk dengan ponselnya masing-masing. Mungkin juga aku sudah mulai terbawa suasana.

Padahal saat ini kami jalan berempat, yang 3 orang perempuan lagi. Aku jadi kepikiran kalau aja Pak Dede cuma karaokean berdua dengan salah satu diantara kami, apa yang bakal dia lakukan ya? Jangan-jangan bisa lebih dari yang tadi.

Aku sebenernya penasaran dan ingin menanyakan hal itu kepada Nadya, yang kebetulan pulangnya bareng sama aku. Tapi aku ragu, canggung harus menanyakan hal seperti itu. Dan sepanjang perjalanan pulang akhirnya dia malah menanyakan bulan maduku kemarin. Dia tanya apa ada hal-hal yang ‘seru’.

Aku awalnya bingung dengan pertanyaannya itu. Dia memperjelas lagi, apakah aku dan suamiku melakukan hal yang aneh-aneh selama bulan madu. Ya tentu saja aku jawab tidak, semua berjalan normal-normal saja. Tidak mungkin aku ceritakan hal seperti itu pada orang lain, biarlah jadi rahasia aku dan suamiku.

Ah sudahlah, kenapa malah jadi aku yang kepikiran hal itu, lebih baik aku simpan dan aku lupakan saja, aku tidak ingin suamiku curiga dan menginterogasiku. Aku harus bersikap sewajar mungkin meskipun dalam pikiranku masih terbayang-bayang kejadian tadi sore. Aku harus memberikan support sebaik mungkin untuk suamiku, untuk apa yang sedang dia usahakan demi masa depan kami.

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar

Berkomentaralah Dengan Baik yng berisi kritikan , Masukan Demi Kalangsungan Blog kita Bersama ini