Motorku, Kenanganku 10 [ Skuter Piaggio ]

Posted by Unknown


Stefani, sekretaris Direktur Karmin, lulusan Asmi, dipilih jadi sekretaris direksi perusahaan multi nasional karena banyak hal: yang pasti penampilan eksotis, mungkin darah bule campur dayak. Karakter lainnya percaya diri, kepribadian mernarik, serdas dan tanggap, pengalaman dan kinerja baik. 

Diantara tamu bos-nya, Bahdin orang lapangan, termasuk sedikit orang yang bisa menghadap tanpa butuh perjanjian. Berbeda dengan umumnya tamu atau staf yang menghadap yang hampir dipastikan sarat kepentingan, Bahdin hanya datang kalau dipanggil atau ada kondisi darurat, sama sekali tak punya pretensi.

Stefani selaku sekretaris wajib menaksir dan mengantisipasi kebutuhan bos-nya, itu adalah point utama job sekretaris. Kalau tidak mampu, bakalan di rotasi. Membaca kebutuhan bosnya banyak sulitnya dari mudahnya, apalagi mayoritas urusan rahasia. 

Seringkali Pak Karmin tak menjelaskan cukup detil, karena diuber waktu, padahal jajaran direksi hampir pasti perfeksionis. Kondisi ini tantangan para sekretaris direksi, sehingga diantara mereka berkembang mekanisme gosip tukar menukar informasi, informal lunch.

Stefani menyukai Bahdin, karena loyalitasnya, usai menghadap, selalu membocorkan tips yang relevan. Stefani loyal pada jabatan direktur, Bahdin loral pada personalnya, sehingga Stefanie rutin dapat bocoran.

Pada agendanya mendadak masuk email tadi malam, ada jadwal baru: rapat reguler sore after ofice hour, di ruang rapat. Bosnya tak menjelaskan rapat apa, tapi untunglah kemarin Bahdin menjelaskan ini itu, bahkan tips perangkat yang dibutuhkan. Informasi yang kemarin dicuekin. Tapi sepagian ini dirinya mengawasi IT menyiapkan note book untuk tele conference dg pabrik dan menyiapkan bahan company profle, seluruh afiliasi. Mengundang dan mengkonfirmasi kehadiran.

Inilah yang disebut antisipatif, Stefani mengandalkan informasi dari Bahdin menyapkan dan merancang sarana prasarana kegiatan dadakan bosnya, yang lupa kasih pengarahan.

Kamis
Pk 17.20, Bahdin bersama Ina, sudah tiba dihadapan sekretaris Karmin. Bisa tiba ontime dari pabrik, jalanan padat, mengandalkan motor butut sodok sana selip sini. Ina yang baru kedua kali ini naik motor, menindih kecemasannya, dengan menempel ketat dipunggung.

Ina baru kali pertama masuk ke lantai bagian finance,keluar lift lantai 16, Bagian Finance menyita 4 lantai full, gedung jangkung. Dulu, dua tahun lalu interviu hanya dilantai dua.

Bahdin memperkenalkan Ina, staff pabrik, yang diminta datang menjelaskan data pabrik. Stefani memperhatikan keduanya, terutama mahluk cantik langsing belia berseragam admin pabrik. Sudah jadi policy masing-masing unit di pabrik ada seragam berlabel unit masing-masing, jadi semua langsung tahu, staf lain berasal dari unit mana.

“Bahdin, tuh udah gue siapin peralatannya, coba cek ada yang kurang nggak?” Stefine kalau bicara dengannya pakai bahasa gaul, bosan formal terus. Langsung menuju ruang rapat direktur, masuk dari pintu luar. Meja rapat kapasitas 12 orang dilengkapi peralatan presentasi terkini. Note book baru sudah on, dan siap on line dengan pabrik. Ada small window, user pabrik yang siap tele conference. File presentasi di open, tayang di dinding bukan screen tapi 4 tv lcd besar yang integral. Recording standby. Tumpukan profile.’

“Oh iya mbak, minumnya self service, itu tinggal dipilih sukanya” Stefani ramah pada Ina “Kalau dengan Pak Karmin, jangan sampai beliau suruh lagi, Din lo yang ingatin ya. Memang rapat apaan sich” 

“Ah lo sendiri kan tau, biar bos yang jelasin. Kalau tak dijelasi berarti tak perlu tahu ‘need to know’. Kalo orang yang lain tanya jawab saja rapat rutin, verifikasi data pabrik. Secret gitu loo”

“Ooo iya, udah siap, biar gue laporan. Bener ni gue nggak perlu standby?”
“Hah loe dikasih enak kagak mau, ya terserah kalo mo nungguin rapat, malah asik ada yang nyiapin ini itu” “Lo ijin tak bisa lembur, ke dokter kek, kursus kek.., yang penting elo atur makan malam bos apaan, kolo gw sich gampang tinggal nasi goreng dikantin.
“Tapi...” 

“Neng...neng, kalo sekretaris lembur artinya direksi sedang kerja formal, mancing orang tanya. Kalo lo kagak ada, paling dikira sedang ngelamun jorok”. Stefani cepat menangkap. Segera melapor keruang direktur, dan tak berapa lama Pak Karmin masuk, melalui pintu ruangannya, bukan dari pintu luar, seperti tadi Bahdin masuk.

“Pak, sudah saya siapkan...bla...bla...bla... makan malam salad sudah dipesan. Mohon maaf saya tak bisa lembur, karena kebetulan ada janji. Ohh iya, Ibu Marni sudah standby via teleconference, ibu bisa memonitor real time rapat bapak. Apakah masih ada yang kurang”

“Bagus, lebih dari yang saya harapkan, oke silahkan..”

Sebenarnya sedari kemarin Stefanie ragu omongan Bahdin, tapi dilihatnya Karmin puas, dirinya lega. Bahkan dirinya ijin, dicuekin saja. Sekretaris dilevel direksi, minta ijin adalah tabu. Etikanya selama bos ada sekretaris harus hadir. Bener omongan Bahdin, dirinya diharapkan menghilang, entah alasan apa. Hmm ada apa nii? Naluri intelnya bekerja.

Pak Karmin sudah menyiapkan silabus sederhana, pointer topik apa saja diharapkan Bahdin celoteh. 

Bahdin mulai celoteh apa saja yang diketahui tentang topik 1, sesekali Karmin menambahi informasi teoritis, latar belakang, macro atau stratejik. Ina mencatat, Marni pantau lewat online. Recording jalan terus. Tak terasa sejam lebih berlalu.

Selanjutnya Karmin meminta Ina buka folder yang sudah disiapkan, menjelaskan isi beberapa file dan meminta Ina menelusuri sumber data. Setelah itu tinggal pergi, kembali keruangan, membiarkan Ina gelagepan dan Bahdin bengong. Untunglah Ina bisa online diskusi dengan Marni, bekerjasama keduanya melacak sumber data, dan memverifikasi. Makanan yang datang terabaikan, karena serius. Sedangkan Bahdin enak saja tidur di sofa pojok.

20.30 Pak Karmin masuk, sudah siap akan pulang, melihat Ina akan bangunkan Bahdin “Sstt biarkan saja, orang pabrik kerja tak kenal waktu, jadi harus pandai colong waktu istirahat. Bagaimana reviunya ?”

Ina menjelaskan, sebagian data ada dari sumber yang sudah terdeteksi, tapi ada sebagian yang belum ketemu.

“Ok. Ini sesi pertama. Seminggu dua atau tiga kali. Data tadi coba direkonstruksi, tak perlu saya jelaskan lagi pentingnya hal ini agar tidak bocor, sebelum waktunya. Materi dan data nanti masukkan kelaci kunci. Rapihkan ruangan sebelum pergi, Terima kasih, selamat malam” Karmin sengaja tak menjelaskan job Ina, menguji karakter nya, untuk cari tahu.

Marni seolah hadir, lewat teleconference. “Mbak, dari pabrik naik taksi aja, ketemu di rumah, saya pulang bareng Mas Bahdin, nanti mbak pulang seperti biasa. Mas Bahdin nakal, saya diajak ngebut”

“Emang dia begitu, maunya didekep terus, kalau nggak jalanya suka aneh aneh, gajlukan lah, polisi tidur lah, rem mendadak”

Penatnya tak terasa, Ina sangat bersemangat. Sampai detik terakhir pun masih denial, tak percaya. Tapi setelah mentorin langsung oleh direktur, mau tak mau percaya juga. Dengan kecupan panjang dibangunkannya Bahdin. 

Berboncengan motor butut, dari kantor pusat di kawasan Sudirman, meluncur ke Casablanca ke tebet. “Tampaknya kalau reguler seperti ini kasihan Marni, anaknya bakalan terlantar, seminggu dua tiga kali pulang malam, belum lagi lembur rutin urusan pabik”

“Jadi bagaimana yaa?”
“Kalau aku sii, kontrak aja apartemen, dekat sini. Selama hari kerja anaknya dibawa kesitu, baby siter. Online kan bisa di apartemen, kalau lembur jarak pulang lebih dekat. Jumat baru pulang kerumah”

Sampai dirumah, kembali Pak Bu Broto melihat anaknya pulang boncengan motor butut. Ina cerita kejadian barusan, wong anak mami. Sebenarnya dirinya shok lihat anaknya boncengan motor, tapi diberondong kemanjaan putrinya suka cita, Bu Broto ikutan sumringah, tidak jadi ngomel. 

Pak Broto pun yang ramah tamah persilahkan tamu kucel ini masuk nemani ngobrol, kian respek. Obrolan di meja makan kemarin lusa yang terasa ‘to good to be true’. Kini mulai terbukti. Mulai bertanya mahluk apa didepannya ini, jangan jangan motor itu motor bertuah. Pak Broto kesulitan menganalisa menemukan alasan rasional kemuskilan karir anaknya.

“Mah, Ina mau kontrak apartemen aja,...bla...bla...bla....” menjelaskan skedul ketat mentoring dan workgoup tiga lima bulan dengan Marni yang punya anak balita.

“Kalau cuma begitu, kenapa tidak disini saja, itu ada paviliun tamu, ruang kerja Bapamu nganggur. Kalau bukan kamu yang pakai siapa lagi?” Bu Broto keberatan, nawar, tapi harga mati. Pak Broto juga senada.

“Hmmm nanti deh, saya diskusi dulu dengan ybs” Ina mempertimbangkan tawaran orang tuanya.

Sejam, baru Marni tiba, maklum jauh dari jakarta utara, ke jakarta selatan. Berbasa-basi dengan orang tua Ina. Bu Broto nembak, sebelum Ina sempat kolaborasi dengan Marni.

“Nak Marni, katanya sudah mulai reguler training dan workshopnya, lembur seminggu tiga kali. Kasihan anaknya, ibunya lembur terus, lebih baik hari kerja di bawa kesini, anggap lah kost, pakai baby sitter, kalau kerja workshop pakai ruang papanya Ina” Marni kaget, ujug2 ada ide demikian. Ina pun geleng-geleng, memang keras kepala dirinya bersumber dari ibunya, Lembut tapi kalau udah punya mau pantang mundur.

“Bakalan merepotkan sekali tante, apalagi anak-anak pasti heboh, pasti nanti terganggu, belum lagi anak saya lasak, maklum biasa di kampung”

“Ah yang penting Ina tidak ke apartemen, tetap disini, yang lain menyesuaikan, maaf ya mbak, ibu ngotot, maklum putri satu-satunya kalau tidak ketengokan tiap hari suka was-was”

“Iya ..iya tante ...” Marni mengiyakan tak ngerti duduk masalahnya, lalu pamit

Boncengan motor butut. Dibawah pandangan tiga pasang mata dengan pikiran berbeda. 
Bu Broto melirik putri disampingnya, cukup peka, binar mata dan bahasa tubuh anaknya, cinta?. Hal yang sama tertangkap pada diri Marni. Ada apa? tak sanggup menganalisa, insufficient data. Tak berani ambil simpulan.

Pak Broto yang sebulan lalu rutin jemput putrinya lembur dari kawasan Cilincing, memahami sekali titik kritis karir putrinya dan perjuangan berat yang harus dilakukan. Mulai tebaca strategi yang mereka lakukan, team work. Tapi masih bingung Manajer pabrik perusahaan multinasional boncengan motor butut.

Sembari didekap saling berbagi hangat, Bahdin menjelaskan rencana Ina. Marni senang saja, bila bisa punya waktu lebih ke anaknya. Bahdin tambah ide, dari pada baby sitter, Ida, iparnya saja, sekaligus ngurus anaknya sendiri. Toh suaminya luar kota terus. Hari kerja ikutan kost, baby sit, berikan gaji standar sembari ngurus anaknya sendiri. Weekend pulang. Ide cemerlang, Anaknya ada teman, dipegang saudara sendiri, pasti terjamin.

"Kalau begitu Sabtu besok, mulai coba aja, ngetes Bu Broto kerepotan tidak. Nanti saya bilang Rusdi dan Ibu, kalau Ida sih pasti mau"

“Mbak jangan lupa rekrut supir, kalau saya usul sich yang fasih Inggris. Selama di mobil, mbak wajib nomong inggris, englihs hour. Pasti dee efektif, bakalan cepat jago cas cis cus.”

“Saya risih semobil ama cowo, apa bisa supirnya cewe?” Maklum biasa naik angkot rame-rame.

“Wah nggak lazim, tapi dicoba aja. Tempel aja di papan pengumuman, kan banyak yang pasang iklan, dicari cewe, sim a, inggris aktif pasif, walk in nterviu. Tanpa nama, kasih no hp. Ribuan buruh, masa sih nggak ada sodara yang kualifikasi begitu?”

Sabtu
Mendadak rumah besar Keluarga Broto yang biasa sepi, mendadak heboh, dua balita Anton dan Fitri berlarian tak bisa dilarang kegiangan menemukan area luas mainan baru. Ida kerepotan membuntuti. Bu Broto segera bangkit naluri keibuannya, terkekeh digangguin ansk kecil. Pak Broto pun enjoy saja menikmati keributan kecil. Menunggu cucu sendiri tak kunjung datang, lumayan ada cucu orang.

Marni dan Ina setelah menset Ruang Kerja, langsung membahas posisi Lexi, struktur org, job desc, formulir, arus dokumen, kewenangan, rentang kendali dll. Lemburan mulai kali ini kedepan adalah mengkarbit Ina. Hari itu juga diputuskan, besok sore pindahan kecil, agar rencana selama hari kerja di rumah Ina segera terlaksana.

Sedangkan Bahdin, menggeletak dirumah kecilnya, bebas dari gangguan, menikmati masa bujangnya, tidur sepanjang hari.

Selasa
Sesi kedua. Stefani kembali heran, 17.20, didatangi lagi dua orang berseragam pabrik menghadap direktur, bosnya lupa beritahu skedul. Tapi ditahannya rasa heran, langsung mengantar ke ruang rapat agar tak memancing perhatian. 

Stefani bukan tipe sekretaris sok kuasa, usil mau tahu bahkan cenderung simpati. Dia tahu berat perjuangan dipanggil untuk konsul ke pusat. Jarang orang pabrik ke pusat, kalau berturut-turut bakalan memancing pertanyaan, apalagi kalo staf, kalau manajer wajar dipanggil mendadak, itupun pasti wajahnya cemas siap-siap desemprot.

“Din, ini bakalan reguler?”
“Heh...hehh..... nggak tau dah...tanya aja boss” Kemarin Stefani sudah coba tanya, tapi dijawab singkat saja, memang direksi tak perlu harus menjelaskan, discreet seorang sekretaris. Tapi sebaliknya sekretaris dituntut inisiatif dan antisipatif. Mungkin silabus akademi sekretaris perlu ditambahkan mata kuliah paranormal.

“Seberapa reguler per minggu nya? Kalau seminggu dua kali, lebih baik sekali dihotel, banyak hotel yang dekat, biasa dipakai untuk workgroup empat lima orang. Mengurangi perhatian.”

“Wah bagus tuh, usul aja ke bos, pasti dia suka” 
“Lo aja yang bilang” takut dipersalahkan usulan buruk.
“Kalo gw bilang bagus biasanya sich boss OK, apa pernah sebaliknya?, ya udah buruan minggat, ditungguin pacar noo.Kayak kemaren, ijin tak bisa lembur, tak usah ajukan alasan” Bahdin, mendorong Stephani dapat credit.

Stefani, kembali ke mejanya, dan masuk melapor, tamu sudah datang, semua sudah disiapkan. Dan mengusulkan alternatif meeting di Hotel X, untuk berikutnya, itu hotel searah jalur pulang Pak Karmin.

“Ok diatur saja, yang penting koneksi untuk Ibu Marni. Mereka suruh tunggu saya sebentar on-lne 15 menit, langsung saja mengerjakan. Kamu kalo mau pulang, silahkan” Stefahni berbenah puang dan mampir ke ruang rapat.

“Silahkan saja dimulai, bapak on line 15 menit. Meeting berikutnya mungkin di Hotel X, nanti saya konfirmasi lagi” Formal menjelaskan kepada keduanya. Terutama Bu Marni yang sudah standby. “Mbak jangan lupa, langsung minumannya self service, tak perlu disuruh lagi, kalau lagi tak ingin munum pura2 saja ambil aqua. Pak Karmin to the point, sekali bicara diharapkan tak perlu mengulang, menuntut tinggi efisiensi” Memberi tips ke mahluk cantik, sinyal positif uluran persahabatan.

Selanjutnya mengkorek info lebih lanjut, diseretnya Badin ke pojok menjauh dari Ina dan terutama video cam. Bisik-bisik.“Ada apaan sich, gw jangan dibiarin gelap begini dong, kasihan kenapa” Dikalangan staf/manajer belum ada riak, tapi dilevel sekretaris direksi yang wajib bergosip, sudah terdengar gejolak, rotasi manajer dan ngandang.

Biasanya sekertaris direksi yang sejumlah 6 orang, rotasi antara 18-24 bulan. Kalau dianggap kurang, di off -kan dulu ditaruh di humas agar refresh. Kalau favorif bagi direktur yang bersangkutan akan dipertahankan atas permintaan ybs. Posisi sekretaris adalah elit, karena siapapun yang akan menghadap harus melalui mereka. Para Manajer selalu memanjakan atau memaintain relasi dengan para sekretaris, agar terbantu. Seperti misalnya” call me kalau bos available, bos lagi mood?, bos lagi dimana dengan siapa kapan pulang, surat udah keluar” hal-hal kecil rahasia. Akibatnya sekretaris banyak mempeoleh perhatian, mulai tiket, voucher, discount, oleh2 dll.

Masuk ngandang, istilah ditaruh di pi ar, public relation, yang mereka anggap grounded, dog house. Untuk kembali ke rotasi, perjuangan berat, keberuntungan, dan harus merapat ke personalia. 

“Kenapa mboo, kok tegang amat, amat aja nggak tegang” Stefanie tinggi ramping, bening diatas artis lokal, singel. Sesuai kualifikasi nya dengan gaji setara dollar, tampak serius, Dilirik Ina dariseberang meja yang memulai reviu data kerjaan Pak Lexi.

“Kegiatan ini ada hubungan dengan isu heboh? Gw kayaknya bakalan ngandang ni”
“Ahh masa, emang elu salah apa?” Walaupun orang pabrik, tahu istilah, karena kerap dipanggil Pak Karmin, minimal sebulan sekali, jadi mereka sering ketemu, dan kalo lagi nunggu bos meeting, banyak waktu luang ngobrol, tukar informasi.

“Nggak salah, Cuma nggak bisa spesial aja dengan boss, standar, jadi bakalan kena rotasi. Gw kan udah dua kali muter, tuu ada tiga kandidat dikandang, bening banget, minimal kan ada gantian. Kalo nggak favour boss, gw bakalan refreshing dulu”

“Wah mana gw ngerti poliitik internasional, gw kan orang pabrik. Oli dan baut tanya ke gw”

“Gw ikutan dung, lo lagi ngerjain apaan sii, kok penting bener, sampe demikian secret?, rutin lagi. Stefani memanfaatkan waktu, bossnya lagi on-line mendesak terus, mancing info. Kalo dilihat oang luar bakalan heboh, cewe cantik penampilan ekslusif memepet buruh pabrik, kedinding.

“Ah itu wewenang bos” Walaupun sekolah ngepas, lingkungan bawah, Bahdin tetap tidak sok tahu pamer info yang bukan kewenangannya, discreet atawa jaga mulut. Inilah salah satu hal yang membuat level direktur bebas ngobrol atau diskusi bahkan minta saran dengannya. Sudah digepe cewe cantik masih tahan harga. Kalo lelaki lain bakalan udah crot dari tadi.

“Ah lo nggak kesian, percuma kita udah kenal lama” Padahal selama ini, Stefani yang banyak dapat bocoran atau manfaat dari Bahdin.

“Bukan neng, lo tau sendiri, urusan begini Cuma boss yang bisa buka. Gua buka sebatas urusan gw”

“Ssttt....udah satu setengah tahun ini gue seilidiki ... maunya boss, nggg...udah gw pancing nggak ngaruh ...” Ina melirik, kekasihnya dibisiki, wuiii, cemburu campur bangga, panas campur ingin tahu. Bahdin yang dekil dibutuhkan cewe penting cantik bener.

“Hah elu sekretaris emang suka aneh2, tiap orang kan beda. Direktur yang lain mungkin ada, tapi boss mungkin beda”

“Nahhhh tu dia, elu berati tau mau nya boss, ayoo...” merasa akrab Stefani mencubit, terus gepe, tak lepas dari lirikan Ina.

“Ya...ya.. kapan-kapan kita ngobrol tentang itu"

Kamis
Sesi ketiga, di hotel X, 

17.20 Bahdin, Marni dan Ina sudah standby di loby. Dari pabrik rebutan siapa yang digonceng, akhirnya sepakat naik taksi. Diintipin supir taksi, orang kucel diapit mesra dua mahluk cantik. Untung aja kaca spion nggak lihat sampai bawah. Tuh tangan pada kemana-mana.

Stefani datang hampir berbarengan, padahal yang seharusnya datang adalah Pak Karmin. 

“Bu Marni, mari bu ...” Stefani usai dari loby cek-in mengikuti roomboy yang membawakan peralatan. “Bapak bilang nanti menyusul, maksimal sejam, mendadak ada telp. Ini materi tambahan dari Bapak”

Dikamar suite deluxe, ada loby, kamar kerja, kamar tidur. Cocok dipakai lembur tim kecil. Ina dan Stefani rebutan mengeset peralatan. Maklum ada Ibu manajer. 

“Kalau Ibu ingin refreshing sudah di book kamar sebelah, makan tinggal pesan di room service, bill diteken saja, nanti saya yang urus, masih ada lagi Bu,... kalau tidak ada saya tunggu di depan tunggu Bapak. Apakah masih ada lagi?” Simpel dan baik, persiapan sekretaris pro.

Stefani masih menebak-nebak sosok Marni manajer baru yang pendiam kharisma berwibawa, isunya adalah anak tiri owner bule. Ditaruh gara2 ada masalah kronis di pabrik. Menyenangkan melihat mahluk sebangsa minoritas perempuan bisa pegang posisi penting di tempat yang didominasi lelaki. Apalagi penampilan seragam pabrik demikian kreatif sangat modis tapi tidak norak. Kalau penampilan ini ke kantor bakalan jadi bahan omongan, karena orang dengan seragam pabrik bahan ledekan orang pusat.

Sebulan lebih pegang manajer admin pabrik, keayuan Marni kian berkilau. Aura wibawanya meningkat drastis dibawah bimbingan Ina. Walaupun bahan seragam pabrik, tapi model dan jahitannya disainer papan atas. Bila selama ini manajer pria, seragam dan jahitan standar, selaku manajer wanita, kreasinya beda, penampilan adalah urusan nomor satu. Sepenuhnya ulah Ina, yang senang bisa otorisasi panggil disainer ke kantor pabrik, atas beban kantor. Marni manut saja jadi boneka barbie, dijadikan kelinci percobaan anak gedongan.

Kalau Bahdin memberi tips, silence is golden. Bukannya sok bjiak tapi, agar kalau bodo, tidak cepat ketahuan.

Karena memang kerja, Marni dan Ina langsung berkutat dengan data dan laporan, terutama berkas baru bawaan Setfani. Sedangkan Bahdin terpaksa nunggu boss, nemani Stefani di loby kamar.

“Gw sebenarnya ingin bantu, tapi nggak diajak dan tak tahu apa masalah”
“Tentang itu, urusan boss”

“Tapi kalo gw tebak, keknya mereka kerja ada hubungannya dengan gosip Lexi cs dehh.”
“Cs??, maksudnya Pak Lexi ada cs nya”, Bahdin tertarik dengan detil cs, padahal Stefani ngomongin Lexi yang sedang medikal cek-up.

“Iya lah, Pak Z di purchasing dan, Y di bussines development, itu yg udah lama diobrolin para sekretaris, mungkin ada yang lain, tapi yang rada ketara mereka itu.” Detil info yang tak muncul dipermukaan, karena dijaga Lexi cs sangat ketat. Tapi beredar dikalangan sekretaris terutama karena sering dapat cindera mata dari mereka yang terkadang sama senada.Kerena para sekretaris suka pamer cindera mata, menemukan kesamaan.

“Sebentar...” Bahdin melangkah masuk, interupsi kerja dan pelototin notebook Ina, sejenak scroll akhirnya menunjuk layar file tertentu. Tak terdengan pembicaraan apa, tapi Stefani mengintip dari celah pintu terbuka, dihadapan Ibu Marni, Ina sejenak terlihat becanda mesra, karena kebetulan wajah mereka merapat, saat sama fokus menatap layar. 

Akhirnya Bahdin kembali keluar.

Marni dan Ina, salah satu job nya adalah rekonstruksi data dari berbagai sumber data yang luar biasa banyaknya. Kebingungan mau mulai dari mana, tiada starting point. Kini Bahdin mengajukan intuisinya memulai dari data dan laporan dua bagian itu, di crosscek ke arus material masuk pabrik yang Bahdin ketahui.

“Ehh kenapa...” Stefani kian menyadari seriusnya isu Lexi terkait tim kecil yang dipimpin Karmin.
“Terima kasih infonya, banyak menolong mereka tuu. Karena sudah bantu, apa yg bisa gw bales” Bahdin serius. Info itu adalah credit bagi Stefani yang secepat mungkin diajukan ke boss, setelah terlebih dulu diverifikasi.

“Hmmm....” Bisnis tukar info, adalah keahlian sekretaris. Dipertimbangkan cermat. “Sedang ada krisis, diam-diam artinya highly confidential, boss pakai kalian artinya sangat dipercaya, tu dua orang baru artinya fresh eye. Tampaknya kalian long term, artinya kiris parah. Klik lama tak bakalan tinggal diam, posisi gw pasti kena imbas intrik yang berkembang. Opsi gw hanya, merapat ke personalia atau ke boss. Gw kan udah lama dengan bos, loyalitas sudah ada, supaya aman gw ikut tim lo, gw bisa bantu apa? Gw belum tahu. Utk itu gw harus ditarik boss, gimana caranya? Pak Karmin gimana sich ama cewe?”

“Baiklah, ini hasil pengamatan, belum tentu benar. Kalo gw duga sich, bos udah nggak terlalu pengen lagi ama cewe seperti dulu, mungkin faktor umur, tidak sebanding dengan risiko. Itu satu, kedua jaim, ketiga kalo lagi mau mending psk kelas atas, service jamin yahuuud. Tapi dia masih gw lihat spa atau masase kalo meeting luar kota. Disini elo bisa masuk. Bisa pijet nggak, pijet terapi? Pijet plus? Tinggal mulainya aja sulit, dia pasti jaga image, menghindar godain staf, risiko sexual harrasment. Timing juga nggak pas, lagi kritis gini, mana dia kepikiran”

“Wah pijet?? cowo gw pasti muji sich. Pijet plus? Handjob dan blow job?, testimoni menyatakan ok banget“

“Hmm gw juga kalo loe pijet bakalan keringat dingin, semok bener.Bayangan lo aja kalo lewat, gw bisa crot berkali2.” Becanda kian memanas, menjurus parno. “ Jangan disamaain ama boss, yang tinggi jam terbangnya. Dibanding dengan yang pro elo gimana? Elo nyandak nggak?”
“Hmm iya yachh... jadi gimana dong”

Becanda kian memanas, cekikikan, menahan agar suara tidak tembus ke dalam.
“Kalo ngakunya jago, coba try out dulu, skor berapa. Kalo delapan kurang, boleh deh maju ke boss, kalo Cuma enam, malu-maluin. Kalo maju sendiri terserah, tapi gw jangan terlibat, oga dee, rusak reputasi.”

“Yang ngasih nilai siapa?, cowo gw?”
“Heh..heh..., cowo loe punya pengalaman nggak? paling elementer.”

“Wooo, sory ya, cowo gw mah kampiun urusan begitu, klepek-klepek ditangan gw, udah lama dia ngebet kawin agar bisa nagih terus tiap malem, tapi gw nggak mau karir lagi bagus, tiap dia ngambek gw service aja” Mana ada cewe yang rela dinilai skill kurang. Tapi lupa, skill yang dibahas adalah urusan per lendiran. Ditambah lagi kejebak membela pacarnya.

“Ooo jadi cowo loe pengalaman urusan pijet plus, gw pengen tahu, langanan dia kemaja aja”
“Wah cowo gw mana berani ketempat begituan, bau santri tau”

“Santri, Halahhhh jadi kampiun tangan sendiri? Anak sd juga jago” Stefani kejebak omongan sendiri.

“Emang loe jago? Pacar aja nggak punya” Stefani kehabisan argumen, bangkit emosi balas nyerang.
“Nah itu betul, pacar gw nggak ada, jadi gw bisa bebas, coba sana coba sini. Kelas rel sampai bintang lima. Minimal lebih variasi dah dibanding cowo loe, Cuma tau pijetan enyaknya ama lo pacarnya” 

Entah kenapa cewe kalao ada cowo yang punya jam terbang tinggi dunia malam, selalu terpancing untuk menaklukan, mungkin terdorong niatan mengembalikan kejalan yang benar.”

“Errr... kalo loe yang nilai bagaimana” Merah juga Stefani ajukan usul.
“Ogah dee, ntar ditabokin cowo loe” Nyengir Bahdin, ni cewe kepancing juga.

“Hmmm, ini tuntutan karir. Artis aja baru bikin portfolio udah berani foto bugil. Waktu audisi teken siap adegan panas. Gw kan kenal loe pegang rahasia, boss aja percaya.”
“Weleh udah jam berapa ni, mana boss” Bahdin menghindar, alihkan topik. Trik yang tak luput dari pengamatan.

“Ohh iya sebentar..” Stefani meng sms boss, mengingatkan ‘15 mnt’
Mendadak hpnya bunyi, avatar bosnye, Stefani beranjak keluar kamar, terlibat pembicaraan. Bahdin tak mau mendengar, masuk ke ruang kerja.

“Mas, indikasinya betul, tampaknya data dari kedua bagian itu adalah data yang real, data awal, yang lain adalah rekayasa atau koreksi atau variance atau tambahan, terlihat dalam sampel beberapa part untuk satu bulan. Partnya ada ribuan, masanya 6 tahun, jadi groundworknya berat, padahal Cuma boleh kita berdua. Info dari mana Mas” Marni bertanya, “Dari Stefanie?”

“Pastilah mbak, kemarin mereka berdua rapat rapet, saya dicuekin kaya kambing conge, tuh lihat aja bedua cekikikan kita keringetan” Bahdin nyegir, diobok-obok kedua mahluk cantik ini.

“Dia nggak bisa dilibatkan, bantu input data?” Marni usul “Sekretaris kan kepercayaan?”
“Hah.... nggak dah.., dengan mbak berdua aja udah ampun, tambah lagi dia. Macan galak. Tak ku ku ....”

“Lho ini kan kerjaan berat, kalo nggak dikeroyok kapan selesainya?” Marni mempertimbangkan hal ini adalah uji kompetensi bagi Ina dalam waktu tiga bulan harus bisa ajukan verdict. “Beruntung banget udah dapat start awal tips Sterani, tapi klerikal nya banyak banget, Kalo nggak selesai, Ina kan terancam posisinya?” Ina tak komen karena terutama nyangkut kepentingannya. Tapi tatapannya penuh harap, seperti anak kecil nunggu es krim mc donal.

Bahdin garuk-garuk kepala dipelototin dua mahluk cantik “Masalahnya bukan di saya mbak ku sayang... Pak Karmin mau nggak narik dia?”

“Mas Bahdin, Ina percaya mas punya trik khusus karena kedekatan dengan Pak Karmin” Ina yang cerdas sudah paham lelaki ini sangat penurut kalau tahu caranya. Ina juga mulai menyukai kepribadian Stefani yang tak sungkan beri tips. “Coba libatkan Stefani yaaa” Ina pasang muka kenes nya mesra. Bahdin garuk kepala.

Sceene terakhir terdengar Stefani, yang tak sengaja mendengar saat akan ketuk pintu yang celah terbuka. Tok tok tok

“Bapak, tertahan urusan mendadak. Saya diminta ngebrief afiliasi yang di perancis. Bagaimana kalau makan malam dulu?” Semua setuju. Stefani call room service, sambil menunggu order Marni dan Ina meneruskan kerjanya.

Walaupun tadi teralihkan topik pembicaraan, ditambah tak sengaja mendengar dukungan dari new comer, yang meminta mesra. 

“Din, loe yang nilai ya?” 
Sebenarnya udah diniatkan Bahdin mengajukan Stefani dengan point, indikasi klik bagian lain, thank’s to her, kalau nanti boss datang. Tapi kini macan galak, mulai nguber dirinya. 

Ada gap. Stefani tak paham sudah diniatkan, tanpa perlu diminta. Khas cowo penurut, play along, semok bener.

Bahdin bila becanda parno sangat lihai, tapi saat mengarah realisasi, gelagapan, reaktif menghindar. “Mo dimana?, gw takut ke apartemen loe, kepergok bisa ditabokin cowo loe, kerumah gw rt nya galak, mau di rel?”

“Hah... oon bener, tuh ada kamar, sayang tiga juta semalem” Stefani mengadapi lawan submisif makin gahar. Kalau saja ibu-nya mendengar omongan ini, bakalan semaput. Cewe kok gatelan. 

“Wah ada Bu Marni dan Bu Ina, bahayaaaa” masih alasan menghindar. Bahdin masih shock mendadak diuber sekretaris yang anggun ini.

“Yaa tunggu mereka pulang, kan emang tugas gw wakili bos jamu mereka” Stefani berfikir keras, maksimal hand job dan blow job, tak apalah. Ditambah lagi selama ini Bahdin satu-satunya cowo yang tidak jelalatan matanya, bahkan untuk memulihkan PD udah dandan habis tak juga dilirik, cari pembenaran mungkin hombreng.

Makan bersama, suasana kian mencair. Mendengar sendiri Marni Ina mendukung dirinya, Stefani selaku yang senior, lihai mengarahkan suasana ke informal, mendadak akrab, tapi tanpa sedikitpun mengorek rahasia. Marni Ina banyak mendapat masukan, gosip, isu ringan tentang kondisi suasana kerja dari sudut pandang wanita karir. Karena pada dasarnya ketiganya ramah, bepekerti baik dan berkepribadian menarik, chemistrinya timbul. Katalisnya adalah Direktur dan krisis perusahaan.

Dilanjutkan Stefanie, ekspose perusahan afiliasi di Perancis, 40 menit. Sesuai arahan boss, dirinya mencetuskan istilah asing, bukan untuk pamer, tapi membiasakan Marni dan Ina mengenal istilah asing perancis. Tapi tak dinyana, Ina sesekali merespon istilah perancisnya dan geografis, karena memang pernah kursus singkat dan ke pergi sana. 

Bahdin menimpali aspek teknis. Spt biasa, Brefing di rekam, dan disave di folder.
Usai briefing, rehat sejenak. “Ibu kalau mau refresh di sini saja, toh Bapak tidak jadi datang, kalau mau dipakai menginap silahkan” Stefani mengaju ke Marni yang kini adalah pejabat paling tinggi rankingnya. 

Marni tidak mungkin menginap, padahal sangat kepingin rasain kamar tiga juta, tapi kasihan anak dan tak bawa baju salin. Kalau Ina sudah biasa hotel bintang lima, apalagi rumahnya dekat. 

“Wah kalo nggak ada yang makai, saya saja, rejeki tak boleh ditolak, besok tinggal berangkat kerja. Baju pake lagi” Bahdin mengingat motornya ditinggal dipabrik, besok bisa telat berangkat kerja tanpa motor.

“Hmm Ina bagaimana kalo cek datanya besok dikantor, toh briefingnya sudah selesai?, atau kalo masih kuat nanti dirumah. Mas Bahdin biar disini.” Stefani wanita peka menangkap detil Ibu Marni tak sengaja bersikap mesra.

“Kalau begitu sebentar saya kerecepsionis, batalkan kamar sebelah mudah2an bisa, lumayan saving budget untuk next time”

Sepeninggal Stefani, “Hmm kalau tak ada dia saya temani mas deh, ya udah mbak, kita susul, nggak enak diurusin” Sejenak ketiganya bercengkrama sambil merapihkan peralatan dan berkas.Marni Ina seolah mengabaikan Bahdin, dengan langsung pulang, padahal sudah ngatur kejutan kecil.

Marni dan Ina turun, mendapatkan Stefani di recepsionis masih menunggul bill, pamit. Tiba masih setengah sembilan karena dekat, masih sore ukuran metropolitan. Marni lega masih sempat nengok anak sebelum tidur. 

sSs

"Ida, Tolong antarkan baju ganti ke hotel X, naik taxi, anak-anak biar aku yang urus. Bilang juga mungkin besok pagi benar, dijemput bareng ke kantor"
Marni bermaksud Bahdin ada temannya malam ini, sekaligus memberi kesempatan Ida merasakan Hotel mewah.

Sedangkan Ina, usai mandi langsung berkutet dengan data. Memfollow up file tadi siang

Stefani kembali ke kamar suite, mendadak suasana kondusif. Stefani tak ingin kehilangan momentum, apalagi ada peluang. Berdua di kamar hotel suite deluxe nan mewah, sendirian. Ditambah lagi, bila tadi Bahdin ceriwis berbalasan becanda parno, sekarang tampak gelagapan. Bahdin terbata-bata, mendapatkan macan galak, kembali kekamar saat yang lain pulang.

“Ayo alasan apa lagi, jangan-jangan emang loe hombreng yaa?”
“Ahh... siapa yang bilang.” Panas Bahdin dibilang homo. “Ee, oke dehh, tapi gimana teknisnya..”

“Halah ..udah coba rasakan ... baru nilai.. ponten berapa.. gitu aja refoot”

“Ya udah... mulai start, anggap gw boss mau pijet plus, tapi jual mahal, jaga image"

“Cepetan berbaring ...” Walaupun kelihatan galak, sebenarnya grogi juga Stefani dalam hatinya, untunglah cowo ini culun.
“Teeeetttt, poin minus” Bahdin mulai play along.

“Lho kenapa ..?”
“Loe kira anak kecil disuruh bobo siang? Gw ini boss, service ada prosesnya, basa basi dong, tanya kek pegel, stress, ngilu apaan kek”. Ngomel, Bahdin duduk di bed king size. Di bukanya bed cover yang terasa dingin kena ac.

“Waduh ribet, udah cepetan buka baju”
“Teettt, poin minus “ Bahdin perlahan grogi membuka kancing
“Kenapa lagi?”
“Bantu bukain baju dengan baik”
“Ok...ok..., ini kan sekedar test, kalo beneran pasti dongg” Bahdin membuka baju tinggal cd, merangkak ketempat tidur telungkup.

Stefani yang ramping langsing, naik ke bed, agak susah karena span ketat yang digunakannya, terpaksa disorong ke atas lutut. Selaku gadis cantik, sejak SMP sudah jadi primadona, inceran cowok. Pengalaman seks sudah sejak SMA, pacar pun gonta ganti. 

Stefani pun sering merasa aneh, kok pacaran jarang awet? Saat ngejar-ngejar luar biasa romantis, tapi biasanya kalo sudah mendalam, cinta membara cepat meredup, putus. Pacarnya sekarang relatif awet, sejak SMA, bolak balik sambung putus, naik turun seperti ingus anakkampung.

Bagi Stefani tidak terlalu masalah ngamar dengan cowo.
Mulailah memijit, mengerahkan segenap ilmu dan teknik yang diketahuinya. Dasar memang tak biasa pijat, ditambah tenaganya pas-pasan, belum sepuluh menit udah pegal, kecapean. Dapat dimaklumi cewe cantik, biasa di uber dan diservice para cowo.

“Udah balik badan, copot”
Berbalik telentang, walaupun grogi dicopotnya cd, tapi cepat mengambil bantal menutup onggokan daging lemas.

Tanpa ba bi bu, langsung saja, Stefanie membelai-belai daging layu itu, dibawah bantal. Tetap layu, disingkirkannya bantal, mulai konsentrasi membelai dikombinasi dengan memijat bola, idem. Jarang terjadi pacarnya telanjang tanpa bangun penisnya. Kalo lemes pun biasanya paska ejakulasi. Bingung dirinya menghadapi kasus ini. Diotaknya Cuma tahu kocok dan kemot batang yang keras. Kebingunan dirinya menghadapi yang loyo. Coba dikemot pun tak ngaruh.

Lima menit berlalu, keringat mulai menetes, wajahnya kian memancarkan kebingungan. Diperparah Bahdin kian cuek, sedari tadi merem seolah tidur. Lima menit berikutnya pun idem.

Bahdin, play along, muncul kreativitasnya
“Udah, time out .... hmmm ponten tiga kurang”

“Wah nggak fair, apa dasarnya? “ Wajah cantik merah kecapean protes keras.
“Nilai dasar 5 karena tetap loyo tak bisa bangunkan, dikurangi dua poin tadi, tak ada basa basi mancing atau ngundang, tak mesra saat nyopot baju, perlengkapan minim” 

“Hah... lo aja yang loyo.., juga jangan diitung dong pengurangan nilai.” Sekretaris eksekutif yang terbiasa dipuji para manajer, sekarang dihina buruh pabrik.
“Keputusan juri mutlak tak dapat diganggu gugat” Bahdin balas ngeledek “Wong emang Cuma biasa ngadepin abg dan santri, jangan nyalahin orang dung” emosi juga dibilang loyo. Memang lucu keduanya dalam kondisi serius campur parno, saling menyalahkan.

Topik bergeser, panas dibilang se level abg, udah berapa belas cowo-nya patah hati dia buat. “Emang lo loyo, ngkali”
“Sialan loe menghina, gw buktikan baru rasa, gw khawatir kalo minta tambo terus ditambah bakalan refoot ditabokin cowo loe.” Keduanya saling meledek kian panas.

“Ehh rasanya tadi ni urusan tentang minta tolong kok jadi begini?”
“Abisan, udah cape nggak ada hasil, masa ponten tiga?"

“He...he...he....” Lo aja diajarin nggak mau nangkep
“Loe ngajarin apaan?”

“Hmmm gimana yaa....gini deh...kalo emosi nggak kondusif, gw mandi dulu lengket nii, sekalian nyiram kepala panas” Menyambar pakaiannya, Bahdin melangkah kekamar mandi. “Loe lupa kan, tadi waktu gw bilang start, penilaian udah mulai, tapi loe nggak siap, bahkan ajukan berbagai alasan, bahkan terakhir ofensif. Nanti test diulang lagi, distart sejak gw keluar selesai mandi”

“Lupa apaan..” Emosi belum hilang tapi lelaki itu udah kabur ke dalam kamar mandi. Cepat dirinya tersadar. Oo iya dirinya kan yang seharusnya men-service. Kalau ada masalah dihadapi bukan menghina. Terkekeh geli dirinya sendiri. Menyalahkan diri, sudah dibantu kok malah ngomel. Lelaki loyo kan emang nantinya permasalahan yang bakalan dihadapi. Kepala mendingin, mulai dirancangnya strategi menghadapi bossnya, orang tua, yang disimulasi kan oleh Bahdin.

Dirinya bangkit, menuju mini bar, diperiksanya ada pilihan apa, diingatnya Pak Karmin tak suka minuman keras, bir pun jarang dilihatnya. Belakangan menyukai teh, teh ijo, oolong, item, benalu, ginseng. Tapi simulasi seolah bahdin, yang suka bir. 

Bahdin tak lama di kamar mandi, dasar cowo lapangan, mandi koboi, cepat saja, keluar dengan jubah mandi, menemukan kamar kosong, rupanya diteras. Bahdin menyusul. Suite deluxe memiliki view terbaik, pemandangan jakarta di waktu malam. Stefani sedang duduk santai menikmati gemerlap lampu, sebotol bir dingin dan minuman ringan sudah tersedia dimeja kecil.

“Pak gantian aku juga merasa lengket, mandi dulu.” Stefani yang cerdas mulai melakoni ujian. Gaya bahasanya berubah formal dan mesra. Sembari menuangkan bir kegelas sengaja dirinya merapat tapi sewajar mungkin. 

Stefani mandi dengan cepat, tak ingin meninggalkan lama, keluar juga mengenakan jubah mandi. Langsung beda penampilannya. Ke teras mendapati Bahdin sedang menikmati suasana malam

“Kok beda ya pak, dari kantor sering lihat pemandangan serupa, tapi kok sekarang beda?” Stefani berdiri disamping , mengambil botol bir, memaksa minum bir yang tak disukainya, tapi langsung dari botol, sinyal mengundang. 

“Betul beda, pasti karena didampingi kamu yang cantik, semua jadi tambah mempesona” Bahdin serius, menyambut, tangannya menjangkau pinggang ramping berbalut jubah mandi, menarik merapat.

“Ah bapak bisa saja” Stefansi respon merapat dengan sisi dada kenyalnya disentuhkan ke sisi kepala Bahdin.
“Betul, bukan sekedar cantik, tapi sangat menggairahkan” Bahdin menimpali dengan menarik tubuh itu jatuh kepangkuan, mendekap erat

“Ah Bapak, “ Sterfani menempelkan pipinya.
“Andaikan bisa selamanya ...” Bahdin lakonnya kian gombal, membekap tubuh ramping dipangkuannya kian ketat. Stefani menggeser wajahnya dan mengulum lembut bibir leaki itu, sejenak keduanya saling berciuman mesra dibalkon hotel bintang lima.

Stefani mendesak lebih jauh, lidahnya menjulur dalam, aktif menggeluti lidah pasangannya, lembut dan bergairah. Kedua tangannya kuat mengalung dileher. Bahdin mulai membalas dengan menelusupkan tangan di balik jubah mandi menangkup payudara mungil yang hangat. Tergetar tubuh itu saat tapak mulai meremas lembut. Kuluman lidahnya kian bergairah. Stefani mengulum dan melumat bibir seiring giatnya jemari meremas payudara bergantian dengan memilin puting yang cepat mengeras.

Stefani mendesis, setiap pilinan dipentilnya sangat kuat, memaksa tubuhnya mengejang. Sebelah tangan bahdin menjangkau tali jubah mandi dan menariknya, membuat bagian depan tubuh ramping seksi itu terbuka. Kepala Bahdin sedikit menunduk dan menemukan kenyalnya payudara yang mengundang gairah. Diselomotinya dengan kemotan kuat, balassan permainan bibir.

“Pakkkhhhh...” stefani medesah mesra. Menyambut rangsangan di payudaranya. Bahdin kian buas mengulum dan mengemot, sebelah tangannya ikutan meremas dan memilin, mulai memaksa gadis itu mengejang terangsang hebat.

Gelinjangan liar tubuhnya tak sengaja membuat jubah mandi melorot, memampangkan keindahan tubuh ramping mempesona, mengkilau memantulkan cahaya lampu dan rembulan. Bergetar-getar indah menahan rangsangan hebat, bibir dan jemari lihat, mengobok-obok kenyalnya payudara mengkal ranum. Stefani sudah pasrah, menantikan langkah selanjutnya.

Gentel Bahdin, membopong tubuh ringan yang pasrah itu, sambil bibir merekah pasrah dikecup dengan hisapan panjang sepenuh jiwa. Dibaringkan tubuh itu di bed, Bahdin melepaskan jubahnya melanjutkan rangsangannya yang tadi terputus. Bergetar-getar tubuh Stefanie, dada dan perutnya dikecupi bibir membangkitkan bara api.

“Ohhh, ..” Stefani mendesah, lengannya ,menjangkau kepala yng membangkitan birahi dirinya, didekapnya kuat agar keras mengemuti payudaranya. Stefani melakonkan dengan penuh penghayatan. Akting adegan ranjang bukan urusan sulit buat cewe, cuma ah uh ah uh dan telentang, apalagi dapet bonus, lumayan Bahdin merangsang nikmat.

Payudaranya dikemot kian keras kian membahana birahi dalam dirinya, memancving lelaki menindih, tubuhnya bergerak menyamping mendekap rapat, tangannya mendekap erat bokong. Perutnya langsung merasakaan panasnya ular pyton siap memangsa. 

Ditariknya tubuh rapat itu berguling keatas tubuhnya, sinyal yang sangat jelas. Terasa batang kenyal panas diperutnya.

Teeet. 
Mendadak Bahdin menggulingkan tubuh.
"Kenapa...kenapa...." Bingung campur sudah diubun-ubun menadadak interupsi

"Errr, pendekatan udah bagus tinggal nanti kalo ke boss dicari hal khususnya, tapi yang lainnya gagal total"
"Kenapa Pak?"
"Kan pijet plus. Pancingan dan pedekate nya anggap sudah. Tapi urutnya mana? setelah diurut, baru urut plus, setelah itu baru yang lo tadi bilang jurus tangan jurus mulut, baru final. Tadi kan lo komplain loyo, tuu loyo nggak"

Terpaksa gadis eksekutif ini bengong. Cowo culun itu rupanya serius tentir spesial dirinya. Sedangkan dia yang minta malah terlena nyosor pada hal lain.

Pemandangan aneh, dua sosok telanjang di bed mewah kamar bintang lima. Nothing happen. 
Perlahan kewarasan Stefani kembali kinclong. "Ooo iya, gw lupa, sori yaa.., jadi gimana?"

"Kalo pijet tadi udah kerasa dikit, parah mbook. Lo latihan dah ama cowo lo atau emak lo, ngurut beneran, kalo nggak, tembok aja diurut, latihan, biar tenaga lo nambah."
Stefani tak bisa membantah, logis, penilaian obyektif "Ok terus.."

"Mancingnya dan pendekatan, seperti tadi kata gw udah ok, tinggal lo cari aja titik boss tu apa. Tadi kan pake bir, cerdas. Pdkt udah cantik, anggun dan sensual, tak nampak noraknya" mekar lubang hidung yang udah bangir ini.

"Rintihan lo udah yahud, natural, tinggal lo re-cek boss demennya yang gimana" Kalo ttg ini Stefani binggung nggak paham. Wong dia beneran keenakan.

Yang laen sama sekali belum kelihatan.

Ste, bangkit terduduk merenung penilaian juri tunggal, mencernanya. Got it, pekiknya dalam hati.
"Ok, uji lagi yaa? , mumpung nii"

"Wahhh, audisi udah dua kali masa mo tiga kali. AFI aja cuma sekali"
"Alla, lo ama gw gitu amat, ayoo" kambuh lagi macan galak. Kalo udah begini Bahdin udah pasti ciut, apalagi , minta sambil melotot, lupa telanjang bulat. Kulitnya putihhhh buanget , darah bule tapi mengkilap kek pualam pengaruh dayak. Paling ramping, diantara motor, matic, scoopy, ternyata piaggio ini, paling ramping, tinggi, luar bias eksotis, eksklusif. World Class Top model.

Sambil nyeringai nakal, Stefani memamerkan skillnya yang dibanggakannya membuat belasan cowoknya klepek-klepek. Mumpung batang itu masih menegang keras, maklumlah disuguhin pemadangan erotis ini, siapa yang bisa nahan. 

Mulailah Gadis eksotis ini mengocok, perlahan, sebelah tangannya sesekali meraba lembut biji. Bermenit-menit. Ditatap seolah ngeledek wajah Bahdin, seolah berkata "rasain lo, kocokan gw" bermenit kembali berlalu. Batang itu tak juga mengeluarkan sinyal denyutan. Hmm kocokannya diperkuat pijatannya di persering, masih statis tegang seperti tadi, tak ada perkembangan. Mulai muncul butir keringat di dahi. Padahal ac lumayan dingin. Mulai muncul tanda tanya.

Stefani mengerahkan jurus pamungkasnya, ditundukkan wajahnya mulai menjilat, mengulum dan mengemot, kepala batang, kombinasi mengocok batang dan memijat biji. Bermenit berlalu idem. Keringat menetes. Mulai bangkit kepanikan. 

Bermenit berlalu, BIngung tak tahu berbuat apa. tak muncul jurus lain. Bahdin memegang kedua pipi halus lembut, menghentikan upayanya. Bahdin menegakkan tubuh, mengecup kasih dahi keringatan, dan mengulum lembut bibir menawan. Bahdin menaburkan penglipur lara.

"Ok sudah...poin 6, standar"
"Gi...gi...mana..penilaiannya." Rontok percaya diri gadis eksotis ini.
Bahdin meraih bantal, menutup batang tegangnya, malu juga dirinya terkspose walaupun sekedar tentir sensual, 

"Tidak ada pengantar, lemah penjiwaan, minim teknik, lemah fisik genggaman dan daya hisap pas-pasan, dan minim kepekaaan, minim kretifitas" Bahdin menjelaskan pajang lebar tiap point. Stefani bengong mendengarnya. tapi sekuat tenaga menyerap ilmu erotis tersebut. Karena cerdas pulih percaya dirinya dan meniatkan mengeksplorasi lebih lanjut pengarahan terebut.

"Wah... ternyata kompleks juga ya. Ayo lagi... audsi keempat " 
"Aduh boo, kapan lagi kek...apa tiada hari lain ?"
"Halah... tanggung... mumpung ada peluang dan fasilitas gratis, lagi pula waktunya mendesak"
"Ahh lo emang parah, kagak kesian ama orang.." Bahdin bingung cari alasan menolak melanjutkan
"Kenapa emang?"
"Memangnya gampang ngasih pelajaran erotis?"

"Waduhhh tinggal ngajarin aja susah"
"Iya susah lah mbooo, lo kagak tau diri apa?"
"Nggak tau diri gimana ?" heran campur rada tersinggung dibilang tak tahu diri.
"Lo kan cantik nggak ketulungan, semok dan seksi dari tadi dah gw bilang berulang-ulang, bayangan lo aja lewat gw udah bisa crot. Ini sedari tadi tiga kali ngulang ujian, ampun dah, udah keubun-ubun tauuu"

Oooo itu toh, langsung sumringah wajahnya. tak pernah dirinya dipuji sebrutal ini. Kagum jadinya pada Bahdin yang sedari tadi konsisten, tak sekalipun keluar jalur, uji pijat erotis. Malahan dirinya berkali-kali lupa diri dan keluar jalur, tambah marah-marah tak beralasan. Dalam hati ujung terakhir malah menyangka Bahdin tidak tertarik pada dirinya, ternyata tidak

"Iya..iya ...maaf... gw nggak sadar, ternyata lo lelaki normal ..., gimana nih selanjutnya ..."
"Tau dahh...yang penting setop dulu ujiannya, laen kali atau cari yang laen"
"Baiklah, terima kasih tak terhingga, pelajaran yang berharga. Tapi masih boleh minta yang lain kan?"
"Nggak ahh... cepet pulang sono ... nggak tahan niii"
"Emang kenapa kok cepet2 pulang" Stefani sengaja menggoda
"Iya gw pulang, tapi minta dulu yang laen yaa"
"Pokoknya jangan yang itu dulu, spaning nii"
"Iya, nggak yang itu, yang lain, tapi janji dulu"
"Iya...iya..."

Stefanimerebahkan diri disisi Bahdin, wajahnya menghadap, dirapatkannya mengecup lembut.
"Stefani kepengen juga Din, tapi yang pelan yaa.."

Gadis eksotik itu menarik selimut menyelimuti ketelanjangannya, menggeliat memunggungi Bahdin menanti. Sejenak Bahdin bingung sekretaris direksi yang selama ini dikenalnya profesional, anggun penuh kuasa, kini minta disebadani. 

"Ayo dongg, malu nii..." dengan gayanya urakan, Stefani membujuk

Dikiranya ni cewe bohay mau minta apa, ternyata yang itu, tentu saja Bahdin tak menolak pinta sensual apapun. Apalagi sedari tadi birahinya sudah keubun-ubun di jadikan praktek latihan pijat plus. Dirinya ikut menelusup. Dibawah selimut Bahdin memeluk dari belakang tubuh polos mempesona, yang menggairahkan, impian ratusan staf perusahaan. 

Bahdin mulai meletakkan kepala batangnya pada lubang liang yang hangat dari belakang. Stefani, yang baring menyamping, merenggangkan pahanya, menekuk sebelah lutut kian merapat keperut, memudahkan. 

Bahdin sedikit menekan, perlahan melesak, sedikit demi sedikit, kian dalam kian seret, karena sama sekali tak ada pemanasan. Tapi memang itulah yang diminta Stefani. Ketika sudah terasa agak sesak, tangan Stefani menahan perut Bahdin menekan lebih lanjut.

Bahdin menebak apa yang diingini, sama sekali tak menggerakan pinggul, tapi semata membelai setengah mengurut sekujur tubuh, bukan area yang sensitif. Ini yang dikenal sebagai lazy sex. 

Sebelah tangan Bahdin fokus membelai rambut, sebelah lagi menikmati lembutnya kulit perut dan batang paha. Stefani bermalas-malasan menggeliatkan tubuh, sesekali mengulet seolah ngantuk. Tangannya sebelah menjangkau leher Bahdin, terlihat pose sangat menggairahkan. Tentu saja semua itu terjadi dibalik selimut, ditengah dinginnya suasana malam ber ac kencang.

Lebih sepuluh menit Stefani menikmati rabaan Bahdin
"Din, coba dari dulu yaa..." Stefani menggumam
"Hah cowo lo bagaimana?"
"Aahhh, mau tau privacy orang ajaa, kita kan bisa teman tapi mesra? masa kerja stress melulu?
"Iya dee, lo sich nggak bilang-bilang", 
"Ah lo cowo kek bencong, nggak seperti yang laen nguber2, mana gw tau" Becanda seperti biasa, tapi kali ini, Stefaniyang kian panas, menjangkaukan wajahnya kebelakang mencari bibir, dan mengkulumnya kuat"

"Hmmphhhh" Bahdin menghadiahinya dengan menangkup erat, payudara mengkal yang berukuran mungil. Kemengkalan ini beranding terbalik dengan kepekaannya, menggelinjang Stefani dibuatnya.

Sengaja Bahdin tidak memompa, hanya kedua tanganna bekerja keras menjarah, merangsang nikmat Stefani yang kian menggeliat lembut erotis. 

Akhirnya pun gadis ini dengan mengejang dan merintih panjang, mencapai klimaks sangat lembut, perlahan surut dengan mendesah halus. Ditolehkannya wajah kebelakang dicarinya bibir Bahdin dikecupnya mesra 

“Ma kasih yaaa nggak nyangka lo gentel banget, coba cowo gw kayak lo..."
"Emang cowo lo gimana?"
"Hah... rata-rata maunya maen keras...tempo tinggi ... hardcore...lo ntar dulu yaaa... lagi enak niii..."

Sepuluh menit berselang

Stefani menggeliat bangun, menggeser selimut, berjongkok dengan kedua kaki bertumpu pada lutut dan masing-masing berada di samping kiri dan kanan tubuh Bahdin. Selangkangannya berada persis di atas batangnya. 

"Giliran gw niii ???" Bahdin menanyakan, yang dijawab dengan senyum sangat mempesona. Tubuhnya turun menekan kuat perlahan, mili demi mili menelan habis seluruh batangnya. Liang yang banjir bandang sedari tadi, ditambah variasi cowonya yang sudah belasan. tak mnyulitkan dirinya melelapkan batang itu.

Stefani bergerak mulai menunggangi. Tubuhnya terkadang melonjak lembut bak kuda parade, kadang melonjak binal bak kuda pacu. Stefani memilih lakon psk binal yang sedang memberikan kepuasan kepada pelanggannya. Lonjakannya sekali-sekali menajadi meliuk seperti ular. 

Kian memanas, Stefansi menarikan terian erotis penyanyi danggut berbagai gaya, mulai gaya ngebor, gaya ngecor, gaya patah-patah, gaya getar dan entah gaya apalagi. Pokoknya malam itu Stefani mengeluarkan semua jurus yang dimiliki memamerkan pada konsultan pijat plus, skill yang dia kuasai.

Bahdinnya mengagumi nilai plus ini, lonjakan pinggul, geliatan erotisnya dikombinasi dengan perasan otot kewanitaan, berkali-kali dilotarkan pujian "Ouugghh.. Stefani.., luar biasa!" 

Pinggulnya mengaduk-aduk kian lincah, mengulek liar tanpa henti. Tangan Bahdin mencengkeram kedua buah dadanya, daging mungil mengkal. Kelebihan lain adalah payudara yang mungil cenderung ekstra peka, terbukti gadis ini mengejang kuat tiap payudaranya dijarah, diremas dan dipilin-pilin. 

Bahdin bangkit setengah duduk. Bergairah wajahnya dibenamkan ke atas dadanya. Menciumi putting susunya. Menghisapnya kuat-kuat sambil meremas-remas. Keduanya saling berlomba memberi kepuasan. Keduanya tidak lagi merasakan dinginnya udara, Kedua tubuh mulai bersimbah peluh, membuat jadi lengket satu sama lain. Stefani berkutat mengaduk-aduk pinggulnya. Bahdin menggoyangkan pantatnya. Dirasakan tusukan batangnya semakin cepat seiring dengan liukan pinggulnya yang tak kalah cepatnya. Permainan kami semakin meningkat dahsyat. 

Sprei ranjangnya sudah tak karuan bentuknya, selimut dan bantal serta guling terlempar berserakan di lantai akibat pergulatan yang bertambah liar dan tak terkendali. 

Dirasakan Bahdin gadis eksotik itu mulai memperlihatkan tanda-tanda. Stefani semakin bersemangat memacu pinggulnya untuk bergoyang. Mungkin goyangan pinggulnya akan membuat iri para penyanyi dangdut saat ini. 

Stefani mengerahkan tenaga, dirinya kian kagum. Tak ada satupun cowo nya bila dirinya sudah mengerahkan tenaga maksimal, tidak tumbang. Bahdin berbeda. Dihimpunnya tekad dan semangatnya . Stefani terus memacu dan mulai mendesis-desis, nafasnya kian terengah. Stefani sudah tak perduli rintihan suaranya mulai terdengar kemana-mana. Kali ini Stefani harus menang! Upayanya ternyata tidak percuma. Dirasakan tubuh Bahdin mulai mengejang-ngejang. Ia mengerang panjang. Menggeram seperti harimau terluka. Stefani pun merintih persis kuda betina binal yang sedang birahi. 

"Eerrgghh.. oouugghh..!" Stefani berteriak panjang, tubuhnya menghentak-hentak liar. Tubuhnya terbawa goncangannya. Kedua pasang paha beradu kuat menimbulkan suara aneh, Bahdin memeluknya erat-erat agar jangan sampai lepas batangnya akibat lonjakan. Mendadak Stefani mengejang kuat-kuat. Stefanipun rasanya tidak kuat lagi menahan desakan dalam dirinya. Sambil mendesakan pinggulnya kuat-kuat, Stefani berteriak panjang saat mencapai puncak kenikmatan. 

"Oohh.. Bahdine.., ohggggg!" jeritnya tak tertahankan. Tulang-tulangnya serasa lolos dari persendiannya. Tubuhnya lunglai, lemas tak bertenaga terkuras habis dalam pergulatan sedemikian lama. Kedua lengannya memeluk leher Bahdinnya kuat-kuat, sembari melepaskan puncak nikmat ketiganya.

Bahdin dengan sigap membalikkan posisi tubuhnya tanpa melepaskan batangnya. Langsung dengan tenaga baru menghujam perlahan tapi sangat bertenaga.
“Nggghhhhh.....” Stefani hanya mampu mengeluh berkali-kali setiap kali batang keras menggerus berbagai sisi liang wanitanya. Semenit dua menit Bahdin memanjakan ksekretaris bosnya, memompa dengan kuat dan perlahan, sampai satu ketika mengeluhpun Stefani tak bisa, demikian lemas lunglai tak berdaya. Pelukannya pun lepas. Bahdinpun mengentikan hujamannya.

“Stefani ...kamu sungguh ...” Bahdin membiarkan berat tubuhnya menindih tubuh telanjang, dikulumnya bibir lembut, dikecupnya berkali-kali dengan mesra. Bahdin menumpahkan kemesraannya pada wanita itu, teman tapi mesra.

Dibiarkannya gadis itu istirahat, malam masih panjang....cukup banyak waktu untuk mengejar ketertinggalan masa lalu.

sSs

Trrrrrrreeeeeeeeettttttt, suara bel terdengar. Bahdin kaget, bangkit sambil memaki, sompret Hotel bintang lima apaan nii, ganggu orang senang. Tapi biarlah, toh ttm-nya masih loyo, injury time, dikenakannya jubah mandi.

Bahdin surprise menemukan Ida di muka pintu, menyilahkan masuk. Tak pernah Ida masuk ke kamar hotel semewah ini.
"Mas Ini baju gantinyaa, pesan mbak Marni mungkin besok pagi dejemput bareng kekantor"
"Lho kok merepotkan, sendiri saja?"
"Iya mass..."
"Mau minum apa? ayo duduk dulu ..."

Dari dalam kamar terdengar suara kresek-kresek, Ida bangkit kecurigaannya menatap aneh lelaki ini. Didalam taksi mulai bangkit memori di rumah sakit, ketika menyusuri lobi dan memasuki lift, kian menghangat suatu rasa. Bahdin yang berjubah kamar mandi salah tingkah, dipelototi perempuan. Tercipta keheningan menyengat.

Mendadak dari kamar keluar sosok wanita ramping yang dandanannya masih semrawut, tapi tak dapat menyembunyikan kecantikannya. "Din, gw pulang dulu ya, mari mbak?" Khas pergaulan atas, Stefani pamit dengan sopan dan ramah menyapa wanita lain yang mengetok pintu kamar hotel larut malam, cuek saja, privacy masing-masing.

Sebaliknya, Ida walaupun eks anak orang kaya, tapi termasuk tradisonal pergaulannya, konservatif pemikirannya. Sontak kambuh penyakit khas wanita, cemburu. Gairah membara berubah jadi kecewa, berubah jadi amarah. Ditahannya, toh tak ada haknya. Tapi amarahnya kian menjadi melihat cewe tadi penampilannya melebihi artis. Minder.

"Mas, aku cuma ngantar ini, tak bisa lama-lama, kasihan anak-anak menunggu"
Bahdin mencoba menahan tapi sia-sia, kehabisan kata-kata.

Bahdin tentu saja membaca perubahan mimik, tapi memang disitu kelemahannya, gelagapan dihadapan cewe, tak bisa omong apa-apa. Jadilah Bahdin semaleman puyeng, udah di ubun-ubun tak punya penyaluran. 

Akibatnya puyeng tak bisa tidur, kembali kedua kali keubun-ubun, tidak tuntas. Baru bisa tidur subuh

Bonus Video

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar

Berkomentaralah Dengan Baik yng berisi kritikan , Masukan Demi Kalangsungan Blog kita Bersama ini