Dosa Yang Nikmat Bag.09

Posted by Unknown

Lanjutan Dari

Irma duduk di tepian tempat tidurnya, ia menangis dalam diam di dalam pelukan seorang pria yang bukan muhrimnya, dia adalah Reza, seorang pria yang sudah merubah hidupnya yang dulu sebagai wanita baik-baik, kini menjadi wanita liar.

Dia mendekap, membelai pundak telanjang Irma dan sesekali ia juga menyeka air mata Irma.

"Kenapa Mas ?" Katanya lirih.

"Karena kamu wanita hebat, kamu bisa melayani 4 orang sekaligus, kamu sangat luar biasa, pelacur sekalipun tidak akan sanggup melayani 4 orang sekaligus, tapi kamu bisa melakukannya dengan baik." Jelas Reza dengan nada yang tampak begitu bangga.

"Ini semua gara-gara kamu." Umpat Irma, entah dia harus marah atau senang dengan perubahan yang terjadi kepada dirinya.

"Tapi kamu menyukainyakan ?" Goda Reza, tangan kirinya turun membelai paha mulus Irma, lalu menuju keselangkangan Irma. Ia membelai pelan bibir vagina Irma, membuat wanita baik-baik itu menggigit bibirnya menahan rasa geli yang amat sangat.

"Cukup Mas." Rintih Irma.

"Oke... oke... kamu pasti capek." Reza menghentikan aksinya, lalu ia berdiri dan mengenakan kembali pakaiannya. "Malam ini cukup sampai di sini, tapi lain kali, aku akan meminta lebih. Ingat jangan coba-coba lari, kecuali kamu mau video ini sampai ketangan Suami kamu." Sambung Reza sembari tersenyum licik.

"Bajingan kamu Mas." Umpat Irma.

Tapi Reza tidak memperdulikannya, setelah mengenakan pakaiannya, ia berjalan gontai meninggalkan Irma sendirian di dalam kamarnya sambil menangis.

-------------

Nadia sangat terkejut, ketika sadar seseorang pria ada di dekatnya, parahnya lagi ia tertidur di dalam pelukan pria tersebut. Dengan perlahan ia melepas pelukannya, tapi tak ada reaksi dari pemuda tersebut.

Ternyata Raditya juga tertidur sambil memeluknya raut wajahnya yang tampan mengisyaratkan kelelahan.

Dengan sangat hati-hati dia mengembalikan lengan Raditya dari pundaknya kesamping tubuh Raditya, tapi ternyata gerakan tersebut malah membuat Raditya terbangun dari tidurnya.

"Eh... maaf Kak." Ujar Raditya buru-buru menyingkir dari samping Kakak iparnya.

"Gak apa-apa kok Dit, seharusnya Kakak yang minta maaf karena tadi sempat memelukmu." Kata Nadia bersemu malu mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu.

"Eh... iya!" Jawab Raditya.

Lalu suasana mendadak hening, mereka hanya saling menatap malu, ada keinginan untuk saling menghangatkan, memeluk dan di peluk, tapi batasan-batasan yang mereka yakini membuat mereka bertahan di posisi mereka masing-masing.

Tiba-tiba saja tangannya Nadia di genggam Raditya, membuat Nadia menjadi salah tingkah.

"Kakak kenapa nangis?" Tanya Raditya.

"Eehmm... gak apa-apa kok Dit, Kakak cuman lagi ada sedikit masalah." Jawab Nadia, sambil hendak berusaha menarik tangannya, tapi Raditya malah mengenggamnya semakin erat.

"Masalah apa Kak? Siapa tau aku bisa bantu, setidaknya bisa meringankan beban Kakak." Ujar Raditnya, ia menggeser posisi duduknya sehingga tubuh mereka kembali berdekatan.

"Gak apa-apa kok Dek, beneran."

"Kak... "

"Ini masalah Masmu Dek." Jawab Nadia yang akhirnya menyerah.

"Kenapa dengan Mas Jaka Kak ?" Tanya Raditya semakin penasaran.

"Kamu taukan kalau sampai saat ini Kakak belum juga hamil, dan semua orang menyalahkan Kakak, termasuk Mama kamu. Tapi yang sebenarnya patut di salahkan adalah Masmu, karena dia tidak mampu menghamili Kakak, tapi kenapa Kakak yang harus menanggung semuanya." Jelas Nadia, dia kembali terisak membuat Raditya kasihan kepadanya.

Raditya tau betul apa yang di rasakan Kak Nadia, kebanyakan orang bertanya dan menyalahkan Kak Nadia karena belum memilik keturunan, termasuk dirinya yang mengira Kakak Iparnya mandul.

Raditya sedikit merasa bersalah karena dulu ia juga perna memojokkannya.

Tanpa sadar Raditya kembali memeluk Kakak iparnya sebagai bentuk perhatiannya terhadap masalah yang di alami Nadia, tapi Nadia salah mengartikan pelukan Raditya, ia merasa Raditya menyukainya, karena pelukan yang di lakukan Raditya terasa hangat dan nyaman, sangat berbeda ketika Suaminya yang memeluk dirinya.

Maafkan aku Mas, tapi saat ini aku sangat membutuhkan sandaran.

Nadia dengan sadar membalas memeluk pinggang Raditya, menyandarkan kepalanya di atas dada bidang Adik iparnya.

"Maaf ya Dek."

"Iya gak apa-apa kok Kak, Kakak yang sabar ya, kalau butuh sesuatu kasi tau aku, sebisa mungkin aku akan membantu Kakak." Ucap Raditya, dia memberanikan diri mengecup kening Kakak iparnya.

"Terimakasi Dek!"

-----------

 
Erlina

Keesokan harinya di tempat yang berbeda.

"Bangun sayang ini sudah jam berapa." Panggil seorang wanita yang baru saja masuk kedalam kamar anaknya, dia duduk di tepian tempat tidur anaknya, sambil membelai sayang kepala anaknya.

Sang anak yang bernama Aldi, tampak menggeliat pelan, ia membuka matanya perlahan, melihat memandang Ibunya yang sedang membangunkannya.

Aldi mengangkat kepalanya, lalu menaruhnya kembali di atas pangkuan Ibunya, sementara Erlina sendiri tanpak tidak keberatan dengan sikap manja anaknya, karena memang ia yang selalu memanjakan anaknya, menganggap putranya masi anak-anak walaupun saat ini Aldi sudah beranjak remaja.

Satu persatu Erlina membuka kancing piyama anaknya, hingga Aldi bertelanjang dada.

"Mandi yuk sayang, nanti kamu telat loh !" Bujuk Erlina.

"Iya Umi." Jawab Aldi, masi dalam keadaan mengantuk, Erlina mengajak putranya kekamar mandi.

Di dalam kamar mandi, Erlina segera membuka pakaiannya, dari kerudung hingga gaun panjangnya, dan hanya menyisakan pakaian dalam yang berwarna serba ungu yang menutupi bagian intim tubuhnya.

Erlina memang sudah terbiasa telanjang di depan putranya, baginya bukan hal yang baru berada di satu ruangan dengan putranya dalam keadaan telanjang, walaupun akhir-akhir ini ia lebih sering mengenakan pakaian dalam ketika sedang memandikan putranya.

Berbeda dengan apa yang di rasakan Aldi, bagi anak remaja itu, melihat Ibu kandungnya telanjang, atau nyaris telanjang selalu memberikan sensasi yang berbeda, dia selalu terangsang setiap kali melihat kemolekan bentuk tubuh Ibu kandungnya. Apa lagi ketika berada di luar, Ibunya selalu menakan pakaian tertutup, dan itu membuat sensasi yang ia rasakan semakin bertambah.

Erlina menarik turun celana piyama putranya, hingga burung kecilnya yang sedang berdiri langsung mencuat keluar malu-malu.

Erlina mulai menyirami tubuh putranya, menggosok seluruh tubuh putranya dengan tangan telanjang, lalu usapan tangan Erlina turun menuju burung anaknya, menggosok pelan, membuat Aldi diam-diam mendesah nikmat, sambil memandangi belahan dada Ibunya yang bergoyang-goyang.

Setelah tubuhnya rata terkena air, Erlina mengambil sebotol sabun cair dan menumpahkan sabun cair ketangannya, dan mengusapkan busa sabun tersebut keseluruh tubuh anaknya.

Selama proses memandikan itu, mata Aldi tidak perna berhenti bergerak, menatap, menikmati belahan payudara Iburnya, dan selangkangannya. Celana segitiga itu samar-samar menampakan rambut kemaluannya yang hitam dan begitu lebat.

Selesai mandi, Erlina segera mengeringkan tubuh putranya dengan handuk.

"Umi aku ganti baju sendiri ya?" Pinta Aldi.

"Eehmm... kenapa?" Erlina merinyitkan dahinya, mendengar permintaan Putranya.

"Aldikan uda besar Umi, masak sudah SMP Aldi masi di mandiin, di gantiin baju, kan malu Umi... " Jelas Aldi, Erlina seperti tidak perduli.

Dia melepas handuk putranya, lalu mengambil seragam putranya di dalam lemari.

Sebenarnya Erlina mengerti saat ini Aldi bukan lagi anak-anak ia sudah tumbuh menjadi anak remaja, terbukti akhir-akhir ini setiap kali memandikan anaknya, burung kecil anaknya selalu berdiri, dan kedua bola mata anaknya selalu menatap dirinya dengan tatapan nanar, seolah ingin menerkam dirinya.

Tapi entah kenapa ia tidak ingin mengakui kalau anaknya suda remaja, baginya Aldi tetaplah Aldi yang dulu, dia masi anak-anak, sehingga ia tidak perlu membatasi diri ketika bersama putranya.

"Siapa bilang kamu sudah besar sayang?"

"Aldi sudan SMP Umi." Jawab Aldi yakin.

"Walaupun kamu sudah SMP, tapi kamu masih tetap anak-anak sayang, buktinya titit kamu ini, masih kecil sama seperti dulu, belum ada rambutnya juga seperti punya Umi atau punya Kakak kamu." Jelas Erlina sambil mengamati dan memegang burung putranya yang berukuran tak lebi dari ujung jari telunjuk.

"Tapi Umi... "

"Udah gak tapi-tapian, angkat kaki sayang." Aldi menurut, ia mengkat kakiknya ketika Ibunya ingin mengenakan celana dalamnya.

Selesai mengganti pakaian, Erlina mengambil handuk besar yang ia bawak tadi dan mengenakan handuknya, melilitkan ketubuhnya. Sementara Aldi hanya diam sambil memandangi Ibu kandungnya.

"Umi mandi dulu ya sayang, cup.. cup... cup..." Erlina mencium sekujur wajah putranya, lalu ia keluar dari kamar putranya.

---------------------

"Buruan Shifa, nanti kita telat lagi...!" Teriak Ria saat melihat sahabatnya yang masi sibuk mandi, dan belum ada tanda-tanda kalau ia akan segera selesai.

"Ayo dong Shifa, yang lain udah selesai semua." Timpal Lathifa yang juga merasa khawatir.

"Kalian duluan aja!"

"Lo mau di hukum lagj ?" Kesal Lathifa.

"Ya gaklah, kaliankan tau kalau gue sama Umi Andini itu deket, jadi kalian gak perlu khawatirin gue, udah sana kalian duluan aja." Terang Asyfa mengusir kedua sahabatnya.

"Udalah yuk, kita duluan." Ajak Ria sambil mengamit tangan sahabatnya Lathifa.

"Yuk... "

"Da... " Ashifa melambaikan tangannya, lalu kembali mengguyur tubuhnya dengan air.

Tak lama kemudian, ketika suasana benar-benar sepi, seorang wanita masuk kedalam pemandian umum, ia tersenyum melihat seorang gadis yang sedang berdiri sambil menyiram tubuhnya. Ia berjalan santai dengan kedua tangan ia lipat didadanya.

"Ck... ck... ck... lagi-lagi kamu." Tegur wanita tersebut.

"Eh... Umi, bentar lagi ya Umi." Pinta Ashifa cuek sambil tetap mengguyur tubuhnya dengan air.

"Udah mandinya, nanti kamu terlambat kesekolah loh, atau mau Umi hukum?" Katanya mengancam, tapi terdengar seperti bukan ancaman.

"Bentar lagi Umi."

"Eehmmm uda berani ngebantah ya sekarang." Ujar Andini sambil nendekari muridnya yang pura-pura cuek sambil menyiram tubuhnya dengan air.

Ashifa cemberut, tapi dia menurut ketika Andini menariknya dan membawanya keruang ganti.

Andini segera mengunci pintu kamar ganti, lalu ketika ia berbalik, Ashifa sudah berdiri telanjang bulat, menampakan payudarahnya yang ranum dan lipatan bibir vaginanya yang tampak begitu menggoda.

Tanpa banyak bicara, Andini langsung memeluk tubuh muridnya, ia memanggut bibir Ashifa, sementara kedua tangannya meremas gemas bongkahan pantat Ashifa.Sementara Ashifa sendiri juga tidak mau diam, dia membalas memanggut bibir gurunya, sambil mempreteli jubah gurunya dan menjatuhkannya kelantai.

Andini melepas pagutannya, sembari tersenyum ia menatap dalam-dalam mata muridnya. "Kamu nakal sekali sayang." Gumam Andini nyaris tidak terdengar.

Kemudian Andini melepas bra, hingga payudarahnya menggantung bebas, menyisakan celana dalamnya yang terikat oleh dildo besar di depan celana dalamnya, bersiap untuk menghukum muridnya.

"Kita tidak punya waktu banyak Umi."

"Iya sayang, Umi mengerti." Bisik Andini, lalu ia mengangkat satu kaki Ashifa, sementara tangan satunya mengarahkan dildo tersebut kecela-cela bibir vagina muridnya, lalu dengan perlahan dildo itu melesat masuk kedalam vagina Ashifa.

"Aaaahkk...!"

"Mengeranglah sayang, Umi senang melihat kamu menikmati setiap tusukan yang Umi berikan." Ujar Andini, kemudian ia mengulum payudarah Ashifa.

Ashifa melingkarkan kedua tangannya di leher Andini, sambil mengerang ia ikut menggoyangkan pinggulnya, menyambut dildo besar milik Andini yang sedang menghujami vaginanya.

Kemudian Andini meminta muridnya untuk membelakanginya, menghadap tembok, dan tanpa protes sedikitpun Ashifa mengikuti keinginan gurunya, dia sedikit menunggingkan pantatnya yang bulat, lalu dari belakang Andini kembali menghujani vagina muridnya dari belakang. Tanpa di sadari Andini, Ashifa mencapai klimaksnya untuk kedua kalinya.

"Aaahkk... Umi, Aaahkk... aahkk... !"

"Kamu sukakan sayang, memek kamu Umi sodok seperti ini, tetek kamu Umi peres-peres." Bisik Andini di telinga muridnya yang sedang mengerang nikmat.

"Eehmm... Ashifa mau di hukum setiap hari kalau kayak gini cara menghukumnya."

"Dasaar anak nakal." Ujar Andini.

Tak lama kemudian tubuh Ashifa kembali bergetar, kedua kaki Ashifa tak lagi bisa menopang tubuhnya, sehingga ketika orgasme itu datang, tubuh Ashifa melorot mau jatuh kelantai, tapi Andini dengan cepat menahan tubuh murid kesayangannya.

Plopp...
Dengan perlahan Andini mencabut penis mainannya dari dalam vagina Ashifa.

"Terimakasi ya sayang."

"Iya sama-sama Umi, cup... " Ashifa mengecup pipi Andini.

"Ya udah kamu keluar duluan ya, nanti Umi nyusul, kalau kita barengan nanti ada yg melihat." Jelas Andini sambil menyerahkan kain dan kerudung muridnya.

Ashifa segera melilitkan kainnya, lalu memasang kerudungnya. "Umi, aku duluan ya." pamit Ashifa.

'Iya sayang, hati-hati." Jawab Andini.

Andini tersenyum melepas kepergian muridnya, lalu setelah muridnya menghilang dari pandangannya, ia melepas ikat pinggang dildonya berikut dengan celana dalamnya. Perlahan ia memasukan benda tumpul itu kedalam liang vaginanya.

Perlahan ia memompa vaginanya, menikmati setiap gesekan dildo tersebut dengan dinding rahimnya. "Aaaa... Eeehmm... Shifaa... Aaaa... " Ia mengerang, menikmati masturbasinya.

Dan tanpa ia sadari, sedari tadi sepasang mata sedang mengamatinya, dia merekam adegan panas antara seorang guru dan murid di dalam ruang ganti melalui kamera hpnya. Pria itu tersenyum, lalu ia menyimpan kembali hpnya kedalam saku celananya.
Bersambung Ke
Dosa Yang Nikmat Bag.10

{ 0 comments... read them below or add one }

Posting Komentar

Berkomentaralah Dengan Baik yng berisi kritikan , Masukan Demi Kalangsungan Blog kita Bersama ini