NARASI FAIZ
Video wasiat Mas Pandu itu mengubah semuanya. Ternyata ayahku tahu apa yang terjadi. Lalu kenapa dia diam saja? Inikah alasannya kenapa Vira tidak datang di acara pernikahanku. Inikah juga alasan kenapa mereka diam saja ketika aku tanya di mana Pandu? Mereka ingin agar tidak merusak acara pernikahanku. Maka dari itulah mereka melakukannya.
Semuanya sekarang berkumpul. Iya, aku mengundang mereka semua. Mulai dari ayah dan istri-istrinya, serta saudara-saudaraku dari Bunda-bundaku yang lain berkumpul semua. Iskha sangat senang ketika aku melakukan hal ini. Ia sejak dulu ingin melihatku bisa berkumpul bersama keluargaku lagi. Inisiatifku ini tentu saja membuat dia tak henti-hentinya memujiku.
Rumahku serasa ramai sekarang. Bukan rumah yang besar soalnya. Tak seperti rumah ayahku yang bisa menampung orang lebih banyak. Tapi bukan masalah muat atau tidak muat sekarang ini. Masalahnya adalah kebersamaan. Aku akan melamar Vira hari ini itulah sebabnya hari ini kami akan berangkat bersama. Setelah dari rumah sakit itu Vira tak ingin menemuiku lagi. Dan aku berencana aku beserta seluruh keluargaku untuk menjemputnya. Aku ingin melaksanakan wasiat Mas Pandu untuk terakhir kali. Walaupun menurut Vira itu adalah hal bodoh tapi aku akan melakukannya. Dia mengancamku kalau ia sampai melakukan wasiat Mas Pandu dia tak akan menganggap aku sebagai temannya lagi.
"Semuanya, terima kasih kalian repot-repot mau datang ke rumahku yang tak begitu besar ini," kataku.
Mereka semua menoleh ke arahku. Tampak wajah-wajah bahagia menoleh ke arahku.
"Hari ini, aku ingin minta maaf kepada kalian semuanya. Kuharap kalian tidak keberatan membantuku hari ini. Sebab apalagi yang aku punya? Apalagi yang aku bisa? Tanpa keluargaku, tanpa kalian aku bukan siapa-siapa," kataku. "Hari ini, aku ingin ke rumah Vira. Aku tahu dia pasti akan marah besar kepadaku hari ini. Dia akan menolakku. Aku ingin kalian semua membantuku hari ini. Demi wasiat terakhir Mas Pandu."
Ini untuk pertama kalinya aku memohon kepada seluruh anggota keluargaku. Ya, aku memohon kepada mereka. Untuk pertama kalinya juga aku membungkukkan badan kepada mereka semua.
Ayah maju ke depan. Dia menoleh ke arah Iskha. Lalu mengangguk kepadanya, kemudian dia tersenyum kepadaku.
"Kami selalu ada untukmu anakku. Apapun yang kau inginkan hari ini, aku akan mendukungmu. Aku hari ini berterima kasih kepada Iskha, perjuangannya tidak sia-sia hingga hari ini aku bisa berdiri di sini. Selamat datang kembali nak. Kami sudah sangat lama menanti kamu untuk kembali kepada kami. Kamu nggak salah milih seorang istri," kata ayahku.
Ayahku, walaupun kata orang dia dingin, keras dan tegas tapi dia orang yang lembut kepada anak-anaknya. Aku sudah bersalah banyak kepadanya. Wajahnya sudah keriput dan rambutnya sudah memutih. Senyumnya tersungging di wajahnya. Dia selama ini orang yang melindungiku, menyayangiku, bahkan dia jugalah orang yang selama ini membantu Iskha. Ia juga meyayangi Iskha seperti anaknya sendiri.
Tak ada kata-kata yang bisa aku ucapkan aku hanya bisa memeluk ayahku. Beliau menepuk-nepuk punggungku. Bunda sekarang menghampiriku. Ayah melepas pelukanku dan kemudian berkumpul bersama anggota keluarga lainnya.
"Ayo semua, kita bantu Faiz. Zahir, mohon siapkan kendaraan. Risma, kumpulkan apa saja yang harus dibawa. Ayo, kita buat agar Vira tak menolak Faiz," kata ayah.
"Ayo! Ayo!" seru mereka semuanya. Setelah itu mereka sibuk sendiri-sendiri.
"Faiz, bunda ingin bicara ama kamu," kata bunda. Beliau pun mengusap-usap pipiku. "Pada saat seperti ini, tak ada yang bisa bunda berikan kepadamu selain do'a. Kau sudah dewasa, kau sudah mandiri. Kau telah membuktikan bahwa tanpa ayahmu kau bisa jadi orang besar. Kau juga telah bekerja sekeras ini. Sejujurnya apa yang terjadi hari ini mengingatkan bunda kepada ayahmu dulu."
"Kenapa bunda?" tanyaku.
"Dulu ayahmu bertahun-tahun mencari bunda. Dia berjuang untuk mencari bunda. Dia memperjuangkan cintanya. Dan aku ingin kamu juga bisa memperjuangkan cintamu. Kamu masih mencintai Vira?"
"Aku tak tahu bunda."
"Jawab dengan jujur. Selama ini kamu melihat Vira bagaimana? Sebab sekali kita berangkat ke rumahnya kita tak bisa kembali lagi."
Memoriku dengan Vira pun kembali lagi. Aku ingat bagaimana dulu aku mengejar dia ketika masih di bangku putih abu-abu. Aku juga masih ingat first kiss kita. Aku ingin melihat hatiku sekarang. Aku memejamkan mataku. Apakah aku mencintai Vira? Tidak, aku sebenarnya sudah move on. Move on ke Iskha, istriku sekarang. Lalu kenapa aku harus mengejar Vira lagi?
Karena Mas Pandu. Itu mungkin alasan yang tepat. Tapi aku bisa saja menolak wasiat itu. Aku bisa saja menolaknya. Jadi bukan karena itu. Aku membuka mataku. Kulihat Iskha masih tersenyum kepadaku. Senyumannya benar-benar melumerkan hatiku. Aku mencintai dia. Aku sangat mencintainya. Mungkin juga terlalu mencintai dia. Iskha pun tahu itu.
Aku masih ingat ketika di Amerika, aku selalu ingat dia. Mendengarkan lagu-lagunya. Aku rela pergi dari keluargaku demi dia. Aku bahkan berjuang untuk mencari dia ketika dia diusir dari rumahnya. Bersusah payah untuk dia itulah kenapa aku sangat mencintai dia. Dan rasanya kalau aku tidak mencintainya aku tak akan bersusah-susah berlatih musik memainkan lagu Cage Bird itu. Dan kalau aku tidak sangat mencintainya aku tak akan bersusah payah melamar dia di hadapan ribuan penggemarnya waktu itu. Dan kalau aku tidak sangat mencintainya......aku tak akan melakukan ini.
Ya, inilah alasanku melamar Vira. Karena aku mencintai istriku. Karena aku mencintai Iskha. Karena Iskha yang menginginkannya.
"Aku melakukan ini karena aku sangat mencintai Iskha bunda. Karena dia aku melakukan ini. Dan kita berangkat ke sana juga karena dia. Dan kalau bukan karena Iskha, aku tak akan kembali kepada kalian," kataku.
Itu adalah alasan yang paling masuk akal. Iskha yang menginginkan ini. Dia ingin Vira menerimaku menjadi suaminya. Aku tak tahu bagaimana perasaannya sekarang ini. Tapi aku tahu orang yang sedih orang yang tidak sedih. Iskha adalah orang yang mengekspresikan kata hatinya dari raut wajahnya. Dan keputusannya ini justru membuat ia senang dan tidak sedih. Aku masih ingat kata-katanya kemarin.
"Walaupun kanda mengatakan tidak mencintai Vira, aku masih bisa merasakan perasaan kanda kepadanya. Dulu ketika kanda bertemu Vira saat bersama Mas Pandu, kanda menggenggam erat tanganku. Itu pertanda kanda masih ada perasaan ke Vira. Itulah juga sebabnya dulu kanda mengejar dia ketika keluar dari kafe. Dan Dinda juga tahu, kanda masih ingin bersama Vira. Dinda sangaaaat mencintai kanda. Dan dinda juga tahu kanda juga sangaaaat mencintai dinda. Tapi pertemuan di rumah sakit itu sudah menjelaskan semuanya. Kanda masih mencintai Vira. Kalau kanda tak mencintai dia, kanda pasti akan membiarkan semua ini. Tapi dinda sangat mengerti, sebab kanda adalah belahan jiwaku."
Bunda tersenyum kepadaku. Beliau lalu menghampiri Iskha. Lalu mencium pipi istriku. "Kamu tahu Iskha, bunda nggak pernah melihat Faiz sangat mencintai seorang wanita seperti ini sebelumnya. Kau memberikan kehidupan pada keluarga ini. Kau juga yang mengembalikan serpihan jiwaku. Faiz adalah segalanya bagi bunda. Dan bunda menerimanya dari dirimu nak. Terima kasih telah mendampingi Faiz."
Bunda pun memeluk istriku. Dia sangat bahagia. Setelah itu kami pun berangkat.
****
Perjalanan ini benar-benar mendebarkan. Bagaimana tidak? Aku tahu bagaimana marahnya Vira kemarin. Setelah dari rumah sakit ia benar-benar pergi. Bahkan dia pun tak hadir di pemakaman Pandu. Aku tahu perasaannya. Dan aku memang tidak memberitahu dia kalau kami semua akan datang. Setelah satu jam kemudian kami pun sampai. Rombongan kami cukup banyak, iring-iringan mobil memenuhi badan jalan bahkan kehadiran kami ke rumah Vira pun sampai-sampai banyak wartawan yang meliputnya. Tapi para bodyguard ayahku langsung membentuk pagar betis.
Orang-orang ribut dan sebagian mencoba melihat apa yang terjadi. Begitu aku keluar, juga ayahku dari mobil, semua orang langsung heboh. Wartawan langsung mengambil gambar, blitz kamera bersahut-sahutan di sana-sini. Seluruh anggota keluargaku sudah keluar semua dari mobil. Aku memberi aba-aba agar mereka menunggu.
NARASI VIRA
Aku benci kepada Faiz. Aku benci. Aku lebih benci lagi kepada Pandu. Kenapa juga dia sampai membuat wasiat seperti itu. Aku sudah melepaskan Faiz. Aku sudah ikhlas. Aku sudah rela ia bersama Iskha. Seminggu setelah Pandu tiada aku mengurung diri di kamar. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, ayah dan ibuku berusaha menghiburku. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Aku hanya ingin sendiri. Aku memegangi kalung pemberian Faiz yang aku pakai. Oh, Faiz....celaka, aku masih ingat Faiz. Aku harus melupakannya. Dia sudah jadi suami orang, kenapa aku harus mikirin dia?
Iya, aku dulu mencintainya. Tapi duluuuu. Semenjak dia jalan sama Iskha ya udah, selesai, finish. Aku sudah terima nasib. Buat apa aku harus mikirin dia lagi. Faiz....harusnya kamu sama aku. Harusnya sejak dulu. Nah, kan masih mikirin dia lagi. Sudaaahh...apa yang aku harus lakukan agar aku tak mikirin Faiz lagi??
"Faiz....," gumamku. "Aku bingung antara benci dan cinta. Saat aku membencimu aku justru makin cinta kepadamu. Saat aku mencintaimu aku tak bisa menyakiti Iskha. Faiz...kemarilah, kalau kamu memang cinta kepadaku datanglah kemari."
TOK! TOK! pintu kamarku diketuk. Ibu segera masuk.
"Vira! Vira! Faiz! Faiz ke sini!" kata ibuku.
Tak mungkin. Aku baru saja memikirkan dia. "Ibu pasti bercanda," kataku.
"Beneran! Ayo sini!" kata ibuku.
Entah kenapa aku segera beranjak. Padahal aku benci nama itu kan? Ibuku langsung menarikku sampai ke luar rumah. Di sana aku dapati Faiz. Dan di belakang dia tampak seluruh anggota keluarganya. Semuanya bahkan aku melihat Iskha di sana. Apa-apaan ini??
"Vira?" sapa Faiz.
"Ngapain kamu kemari?" tanyaku dengan sedikit sewot.
"Aku ingin menjemputmu."
"Faiz, aku sudah bilang kepadamu aku tak mau. Kenapa kamu masih saja menuruti wasiat itu? Kalian memang gila. Gila semuanya. Nggak Pandu, nggak kamu, kalian memang keluarga gila! Pergilah!"
Faiz melangkah maju dan kini dia berada persis di depanku.
"Aku tak akan pergi."
"Kenapa? Kenapa kau lakukan ini? Aku sudah tidak mencintaimu lagi Faiz, sudah. Hubungan kita sudah berakhir."
"Kau jujur atau bohong?"
"Jujur."
"Kalau begitu kenapa kamu mau menemuiku sekarang?"
"Aku tak bisa Faiz. Tolong, kumohon aku tak mau mengganggu hubunganmu dengan Iskha. Kalian sudah pantas bersama, aku tak mau Faiz. Kumohon," kataku sambil terisak.
"Kamu masih ingat kencan pertama kita?"
Oh tidak, dia mengingatkanku lagi saat itu. Kencan pertama dan sekaligus juga saat first kiss kita.
"Kamu memakai gaun biru, kamu terlihat sangat cantik malam itu. Dan malam itu juga adalah pertama kalinya aku mengenal apa itu cinta. Darimu. Kau cinta pertamaku. Sungguh sulit sekali move on darimu. Aku akui itu. Dan aku tak malu mengakuinya. Aku selalu menghindar ketika membicarakanmu, karena aku tak ingin kamu ada di dalam pikiranku. Tapi tidak semudah itu. Kamu akan tetap selalu ada di hatiku Vira. Melihatmu bersama Mas Pandu, sebenarnya membuatku sakit sangat sakit. Barangkali kamu juga merasakan hal yang sama ketika melihatku bersama Iskha bukan? Maafkan aku. Akulah yang memaksamu untuk bersama Mas Pandu. Kalau kamu mau menyalahkan orang, maka salahkan aku. Aku yang pantas untuk disalahkan. Aku memang pantas dihukum atas kesalahan-kesalahanku. Tapi biarlah aku mengisi hatimu yang selama ini kosong."
Oh...Faiz...aku sangat ingin, ingiiiin sekali. Tapi apakah harus dengan cara seperti ini??
"Vira, sekarang seluruh keluargaku membujukmu. Aku datang membawa mereka semua. LIhatlah!"
Ya Faiz, aku bisa melihat semuanya.
"Aku tahu kamu masih mencintaiku. Kamu masih memakai kalung pemberianku. Apa yang kau rasakan ketika memegangnya?"
Aku menundukkan wajahku. Air mataku berderai.
"Jujurlah Vira, jujurlah! Keluargaku selalu menjunjung tinggi kejujuran!"
"Faiz...," kataku pelan.
"Iya?"
Faiz, aku mencintaimu. Aku jujur mencintaimu. "Aku mencintaimu Faiz. Sejak dulu sampai sekarang. Sampai saat ini. Aku mencoba untuk membencimu aku tak bisa. Aku tak bisa membencimu. Kenapa aku harus hidup seperti ini? Kenapa aku yang harus menerima semua kesedihan ini. Seandainya dulu kau tak memaksaku, aku tak perlu harus menangis seperti ini."
Aku pun menangis. Menangis karena harus berkata jujur. Perasaanku campur aduk semuanya. Aku dipeluk oleh Faiz. Ohh...inilah pelukan yang aku inginkan. Kenapa tidak dari dulu? Dia mencium ubun-ubunku. Oh Tuhan, inilah cintaku. Dia datang kepadaku. Walaupun dengan cara lain tapi dia datang.
"Faiz, aku bersedia," kataku.
****
Singkat cerita, akhirnya aku jadi istri keduanya. Aku makin dekat dengan Iskha. Menuju acara pernikahan yang kedua. Sungguh sesuatu yang tak pernah aku duga sebelumnya. Iskha membantuku memilihkan gaun pengantin. Dia juga yang membantuku untuk mengatur pernikahanku ini. Aduh, aku koq sepertinya dimanja gini. Aku nggak enak dengan Iskha. Tapi ia dengan senang hati melakukan itu. Tak ada raut kesedihan di wajahnya. Seolah-olah dia melakukan ini karena memang itu yang dia inginkan.
Akhirnya hari pernikahan tiba. Aku dan Faiz duduk di pelaminan, menerima para tamu dan undangan. Aku tak pernah datang di pesta pernikahan Faiz dan Iskha. Karena aku tak sanggup melihatnya, tapi....Iskha ada di sana. Aku jadi tak enak ama dia. Mungkin karena inilah aku menganggap dia sebagai adikku.
Setelah pesta selesai dan seluruh para undangan pulang. Aku digeret oleh Iskha. Ia mau ngomong sesuatu.
"Ada apa dek?" tanyaku.
"Aku mau ngasih tips buat kamu," jawabnya.
"Apa?"
"Hari inikan malam pertamamu. Aku ingin kamu bisa menservis Mas Faiz dengan servis yang luar biasa."
"Apaan sih?"
"Udah, gini mas Faiz itu demennya diginiin....(sensor)," Iskha berbisik kepadaku. Dia menjelaskan sesuatu yang agak vulgar.
"Yang bener dek?"
Ia mengangguk. Aku tak tahu kalau ia bisa bicara sevulgar itu. Aku jadi malu. Kututup mukaku.
"Nggak usah malu, dia sama-sama suami kita sekarang. Toh habis ini juga kamu akan merasakannya," katanya sambil tertawa geli.
Kami jadi sama-sama tertawa.
"Ngomongin apa sih?" celetuk Faiz dari arah yang tak terduga.
Kami tertawa lepas. Iskha meninggalkanku sambil mengedipkan mata. Aku mengangguk.
Faiz penasaran, "Apa?"
"Urusan cewek, mau tahu aja," kataku.
****
NARASI FAIZ
Vira sudah jadi istriku sekarang. Trus ngapain? Ngasih nafkah batin dong, emang ngapain lagi coba?
Tapi jujur aku tak menyangka bisa menjadi suaminya. Dan ini malam pertamaku. Sangat berbeda dengan Iskha. Vira ini entah dari mana dia sudah mempersiapkan madu, susu di meja dekat tempat tidur. Dia memakai kaos dan celana hotpants. Rambutnya ini lebih panjang dari Iskha. Hari sudah malam ....nggak sih baru jam 20.00. Lagian orang-orang di luar sana masih bercanda. Aku sekarang berada di rumah ayahku, rumahku dulu. Dan sekarang berada di kamarku. Setelah menghapus make upnya, Vira malah baca buku. Dasar.
Semenjak SMA sampai sekarang ia tak pernah melupakan hobinya membaca buku. Dia bersandar di ranjang. Kakinya yang jenjang diselonjorkan. Kaki kananya ditekuk sebagai tempat sandaran bukunya. Sehingga aku bisa melihat betapa mulus pahanya itu. Bahkan mungkin terkesannya menggoda. Entah untuk menutupi malu atau apa ia membaca buku malam itu.
Aku duduk di depannya.
"Belum ngantuk?" tanyaku.
Ia melirikku, lalu tersenyum. Ia lalu kembali mengarahkan matanya ke bukunya.
"Apa maksudnya itu? Kamu lagi malu?" tanyaku.
Ia menggeleng.
"Kalau nggak malu koq gitu?" tanyaku. Eh dia malah menjulurkan lidahnya.
"Sama suami sendiri koq malu?"
Aku lalu merebut bukunya. Ia terkejut dan mencoba merebutnya.
"Ih...mas Faiz balikin! Lagi baca nih," katanya.
"Oh, sekarang manggil aku mas?" tanyaku.
"Emang harus manggil apa?" tanyanya.
"Hmm...susah juga ya, kamu lebih tua dariku. Hmm....kalau panggilnya cinta aja gimana?"
Vira pura-pura berfikir, "Gombal"
Aku lalu melihat buku yang ia baca, judul buku itu PANDUAN BERHUBUNGAN INTIM. Aku menaikkan alis. Dia lalu merebutnya bukunya lagi.
"Apaan sih, dibilang lagi baca koq."
Aku tertawa.
"Koq ketawa?"
"Udahlah, daripada baca buku, sini praktek langsung."
"Huuu...maunya, ogah ah."
Aku jadi gemas ama Vira. Aku pun menggelitiki pinggangnya. Ia lalu menjerit kegelian. Ia tertawa lepas.
"Sudah, sudah mas. Sudah...aku nggak tahan. Geli...geli..hahahaha," katanya.
Buku itu terlepas dari tangannya. Dia sudah terlentang di ranjang, aku sudah di atasnya. Jarak pandang kami sangat dekat. Satu, dua, tiga bibirku menyentuh bibirnya. Kami berciuman. Dalam, lidah kami bertemu, saling menghisap. Tiba-tiba ia melepaskan ciuman ini.
"Matiin dong lampunya," bisiknya.
Aku menurut. Segera aku beranjak mematikan lampu dan mengganti dengan lampu tidur yang ada di dekat ranjang. Vira sudah pasrah. Ia tidur terlentang. Menatapku dengan pandangan sayu. Aku mendekat lagi kepadanya. Kubelai rambutnya. Kukecup lagi bibir tipisnya. Ciuman kami makin lama makin hot. Nafas kami makin memburu. Aku kemudian meraba payudaranya. Ia tak pakai bra. Kurasakan putingnya mulai mengeras.
"Mas...hhhmmmhh..," desahnya.
Aku mencium lehernya. Kuhisap lehernya yang jenjang itu. Aku pun menaikkan kaosnya dengan satu gerakan terlepaslah kaos itu. Aku juga melepaskan kaosku. Dadaku dan dadanya sekarang berhimpitan. Hangat terasa. Ciuman kami makin hot, apalagi sekarang ditambah tanganku sudah bergerilya di dadanya.
Kemudian aku menciumi dadanya, kucupangi dan aku hisap putingnya yang sudah mengeras itu. Vira menggeliat, tubuhnya gemetar ketika aku menggelitiki puting susunya. Aku menghisapnya bergantian kiri dan kanan. Payudaranya terlalu menggemaskan. Karena itulah aku suka meremasnya. Vira memejamkan matanya.
"Ohh...aahh...ahhh...," hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Aku lalu melepaskan celana pendekku. Pusakaku sudah mengeras. Siap untuk digunakan. Aku juga melepaskan hotpants istri keduaku ini. Eh, gila nggak pake CD dia. Bau kewanitaannya langsung menusuk hidungku. Aku melihat ia mencukur rapi tempat kewanitaannya itu. Sungguh pemandangan yang indah. Walaupun remang-remang dengan lampu tidur, tapi aku bisa melihat tembemnya itu liang kehormatannya.
Baunya semerbak sabun sirih. Apa ia sudah mempersiapkan semuanya untuk malam ini? Aku masih memandangi tempat yang indah itu. Aku kemudian beranikan diri untuk menciumnya.
NARASI VIRA
Mas Faiz ngapain itu? Dia melihat kepunyaanku di bawah sana. Ohhh...aku malu. Aku tak sanggup melihat. Baru kali ini kemaluanku dilihat oleh laki-laki lain. Aku menanti kejutan apa yang akan dia berikan kepadaku. Apa ini? Rasanya basah, kemaluanku basah dan seperti digelitiki. Eh, ini...dia mejilatinya. Menciumnya dan menghisapnya. Massss.....ohhh.
"Ohhh...Mas Faiz...masss...aaahhakkkk," keluhku.
Ini terlalu nikmat. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya lenguhan dan desisan saja yang bisa aku keluarkan lewat mulutku. Sesekali aku menggigit bibirku. Perlakuan Mas Faiz ke liang kewanitaanku luar biasa. Aku terbuai, aku keenakan. Aku membuka lebar pahaku agar ia leluasa. Jilatannya makin cepat dan menggelitik. Lidahnya masuk dan menyapu vaginaku sampai ke klitku. "OOOOOOOHHHHH....Maaasss.....aahhh!"
Aku merasakan ledakan dahsyat di bawah sana. Aku orgasme! Gila! Yang bener ini?? Iya, ini orgasme tidak salah lagi. Dari kemaluanku aku seperti ingin pipis. Dan kurasakan ada yang keluar, setelah itu aku lemas. Aku mengatur nafasku. Duh....enak banget. Seperti inikah rasanya bercinta?? Capek rasanya. Kepengen tidur. Tunggu dulu. Aku belum memberikan Mas Faiz kepuasan. Aku kemudian duduk. Kudapati ia sudah mencopot celananya. Eh...dia telanjang bulat di depanku.
Aku malu....untung saja ia menuruti kata-kataku untuk mematikan lampu. Kalau tidak ia akan melihat betapa merahnya wajahku sekarang. Kemaluannya mengacung tepat di depan wajahku. Ia ingin "itu" ya? Aku mencoba mengamalkan apa yang Iskha bilang tadi. Kelemahan Mas Faiz dan bikin ia terbang adalah kalau lidahku menyapu bagian kepala penisnya sambil aku kulum. Baiklah. Aku akan mencobanya.
Aku baru pertama kali ini memegang batang seorang laki-laki. Aku genggam batang itu. Makin lama makin mengeras. Kukocok lembut sebagaimana yang aku baca tadi di buku PANDUAN BERHUBUNGAN INTIM. Lambat laun aku pun memberanikan diri mencium penisnya. Begininya baunya laki-laki. Aku pun baru tahu. Bibirku sudah menggeranyangi kulit batangnya. Lidahku mulai beraksi. Terkadang terkena rambut kemaluannya. Aku tak peduli. Aku sudah memasrahkan tubuhku kepadanya. Aku lalu memasukkan kepala penis itu ke mulutku.
"Ohhh....enak banget sayang," katanya.
Aku mengisapnya, sambil kupraktekkan apa yang diberitahukan Iskha kepadaku. Tiba-tiba Mas Faiz memegang kepalaku dengan kedua tangannya.
"Aarghhh....enak, terus...aahhhhhh....!" katanya.
Benar sekali. Ia mabuk kepayang sekarang. Penisnya aku putari-putari dengan lidahku sambil aku hisap. Aku juga masih mengocok miliknya sambil kuremas-remas buah dzakarnya. Kepalaku juga ikut maju mundur menyesuaikan irama oralku, Ini adalah pengalaman pertamu mengoral cowok. Aku akan serahkan apapun demi dia. Orang yang aku cintai. Aku tahu sekarang Mas Faiz pasti sudah melayang. Tak berapa lama kemudian dia lalu mendorongku.
"Uhhgghh...," katanya. "Kamu belajar dari siapa cara seperti itu?"
"Enak?" tanyaku.
"Iya, enak," jawabnya.
"Hihihi, rahasia," kataku.
Mas Faiz lalu menindihku lagi. Posisinya sekarang sudah seperti akan memerawaniku. Bagaimana rasanya diperawani ya? Aku agak takut. Aku takut Mas Faiz. Takut banget. Aku masih memejamkan mataku, takut melihat wajahnya.
"Sayang, bukalah matamu!" bisik Mas Faiz pelan.
Aku perlahan membuka mataku. Ya ampuuuun...wajahnya sedekat ini. Aku bisa merasakan sesuatu benda yang lunak sudah menyentuh memekku. Jantungku berdebar-debar sekarang. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Mas Faiz suamiku. Apa yang akan kamu lakukan? Tangannya menyentuh rambutku, mengusap-usap pipiku.
"Kamu sudah siap?" tanyanya lembut.
Aku bingung mau jawab gimana. Aku terlalu lugu untuk hal seperti ini. Bagaimana dengan Iskha? Apakah ia juga merasakan hal yang sama seperti ini? Di hadapanku sekarang ada orang yang aku cintai. Orang yang aku cintai sejak SMA. Sejak dia mencuri first kissku. Sejak dia mencuri hatiku. Ohh...Faiz...Dia menciumku lagi. Kami frenchkiss lagi. Lagi dan lagi. Tapi ia tak memasukkan pusakanya ke liang senggamaku. Kenapa? Kenapa Mas Faiz?
Dia menciumi leherku sekarang, lalu dia menggigit telingaku. Oouww..aku makin banjir, memekku berkedut-kedut, minta dimasuki. Gatel banget. Aku melingkarkan tanganku di lehernya sekarang.
"Lakukan mas, aku siap!" kataku.
Dan......aaaahhhkk. Pusakanya didorong masuk. Belum terasa sakit. Tapi lebih ke nikmat. Apalagi di bawah sana aku banjir banget. Aku baru merasakan pedih ketika ia mendorong lebih kuat lagi. Ada sesuatu di dalam sana yang tak mau dibuka.
"Tenang sayangku, rileks!" katanya.
Iya, aku terlalu tegang. Aku harus rileks...."AAAAHHH!" aku menjerit. Ketika aku berusaha rileks tiba-tiba Mas Faiz mendorong hingga masuk semuanya. Aku sedikit kaget. Sekarang aku baru merasa perih, pedih...Memekku terus-menerus meremas-remas. Ohh...sakitnya. Seperti inikah rasanya? Mas Faiz menciumku lagi, dan kini memelukku. Ohh...aku emang ingin dipeluk.
Dadanya menghimpitku sekarang. Aku bisa merasakan detak jantung cintaku. Dadanya sedikit berbulu, ada sensasi tersendiri ketika dadanya menggesek dadaku. Sensasi geli, menggelitik. Sukar diungkapkan. Tubuhku sekarang sudah jadi miliknya. Ahhh...dia mulai menaik turunkan pantatnya. Batangnya menggeseki dinding kemaluanku sekarang. Nikmat sekali. Rasa sakitku berangsur-angsur hilang. Yang ada hanya kenikmatan. Semakin Mas Faiz memajumundurkan penisnya, semakin aku keenakan. Melayang aku rasanya. Aku memejamkan mataku. Pasrah. Oh, Mas Faiz lakukan apa yang Mas Faiz suka. Aku milikmu sekarang. Inilah yang aku inginkan sejak dulu. Bersamamu merengkuh cinta. Ayo ayah dari anak-anakku. Isi rahimku dengan spermamu.
"Mas Faiz...sirami rahimku dengan benihmu mas. Aku nggak mau kalah ama Iskha. Aku ingin memberikan Mas kebahagiaan juga. Ayo!" kataku.
Dan Mas Faiz makin cepat menggoyangnya. Aku hanya bisa menggeliat. Setiap aku menggoyangkan pinggulku Mas Faiz melenguh. Ia juga terasa nikmat. Kami berdua berusaha menuju puncak. Inikah rasanya bercinta? Tubuhku sudah menyatu dengannya. Seutuhnya menyatu. Ia tambahkan kenikmatan-kenikmatan ke tubuhku lagi, dihisapnya puting susuku. Ohh...sudah..aku tak kuat lagi. Desakan demi desakan di bawah sana sudah memancing orgasmeku untuk yang kedua kalinya. Vaginaku berkedut-kedut, cairannya makin banyak, gesekan demi gesekan itu bagai piston yang memompa nafsuku untuk sampai ke puncaknya.
"Maass....aku....mau nyampeeee....hheeeghhh....!"
"Ahhh...sayangku, cintaku...ahhh...aku juga...aahhhhhhhhhhhhhh!"
Kami hampir keluar bersamaan, sepertinya aku duluan yang keluar. Sebab aku mengapit pinggang Mas Faiz dengan kuat dan menyemprotkan cairan yang banyak, baru kemudian Mas Faiz keluar. Orgasme terdahsyat dalam hidupku. Baru kali ini aku merasakan seluruh tulang-tulangku serasa remuk semua. Otot-otot tubuhku menegang, pantatku bergetar hebat. Kami berciuman lamaaaa sekali, Kedua kemaluan kami seakan tak ingin berpisah, terus menempel. Aku bisa rasakan pejunya Mas Faiz menyembur hebat di dalam rahimku. Mungkin banyak, Aku sendiri tak tahu. Yang jelas memekku sekarang terasa sangat basah dan becek. Mas Faiz menindihku. Nafasnya terengah-engah.
Tiba-tiba penisnya menyusut sendiri. Ia lalu berguling ke sampingku. Kakiku masih terbuka. Aku bisa rasakan sesuatu meleleh di sana. Mas Faiz memelukku. Ohh...aku memang suka dipeluk olehnya. Rasanya nyaman sekali setelah bercinta aku dipeluk. Ia menciumku berkali-kali. Makasih Mas Faiz. Ini pengalaman yang tidak aku lupakan.
Dan....ladies and gentlemen. Aku sudah tidak perawan lagi. Selanjutnya? Setelah itu kami mengulanginya lagi. Terlalu panjang kalau diceritakan. Hihihihi Intinya Mas Faiz sangaaaat lembut. Aku dimanja banget malam itu. Sampai bangun kesiangan. Dan eh...diulang lagi paginya....Ohhh...suamiku. Lakukan aja deh, aku pasrah.
NARASI FAIZ
Vira mendesah lembut. Dia menungging saat aku menyodoknya dari belakang. Kami baru saja bangun tidur. Dan langsung saja aku tergoda dan melakukannya lagi. Aku pegang kedua payudaranya, kuremas-remas dan pinggulku bergoyang.
"Ohh...Mas Faizz...hhhmmmhh...cepetan, mau nyampe," katanya.
"Iya sayangku, Vira...aahhkkk...!" kataku.
Kemaluanku terus mengobok-obok liang senggamanya maju mundur dan lagi-lagi maniku menyembur di rahimnya. Aku tak peduli lagi mau ia hamil atau nggak. Hamil ya hamil aja. Toh dia udah jadi istriku.
Aku dan Vira akhirnya bersama, juga Iskha. Dua orang yang sama-sama aku cintai ini sekarang jadi istriku. Lengkap sudah semuanya. Tentunya kedua sifat istriku ini beda semuanya. Iskha lebih bawel daripada Vira. Kalau ada bajuku yang nggak rapi pasti bawel, kalau ada yang berantakan pasti bawel. Dia benar-benar menepati janjinya, akan berikan apapun yang aku inginkan kalau sudah nikah. Sedangkan Vira, aku tak menyangka kalau dia itu lugu banget, polos.
Ia mengaku kepadaku tak pernah tahu begituan. ML hanya ia ketahui dari buku, ia tak begitu tahu cara menstimulus, bagaimana teorinya, ia sama sekali tak tahu. Bahkan lihat barang lelaki saja ia baru tahu. Satu-satunya ilmu yang diberikan adalah dari Iskha. Iskha tahu kalau aku suka banget ama blowjobnya, entah diapain sih itu kepala otongku sampai rasanya enak banget. Nyatanya Iskha berbagi pengalamannya kepada Vira.
Jadi aku sangat beruntung mendapatkan Vira, ibaratnya dia adalah hutan yang masih hijau, benar-benar belum tersentuh. Bahkan ia sendiri bilang satu-satunya lelaki yang pernah menciumnya adalah aku, memang ia pernah mencium Mas Pandu, namun itu karena ia memberikan hadiah itu kepada Mas Pandu. Dialah yang memberikannya bukan dia yang menerimanya. Dan dia jujur.
Semenjak menikah dengan Vira, aku juga tahu kalau dia wanita yang paling lembut. Sementara ini Vira tinggal di rumah orang tuanya. Yah, mau gimana lagi blom punya duit buat beli rumah lagi. Tapi aku yakin pasti bisa beli setahun lagi. Nabung dong. Udah punya dua istri pengeluaran juga dobel. Apalagi kalau sampai keduanya sama-sama hamil. Tambah lagi kan? Untungnya perusahaanku terus berkembang beberapa bulan ini. Sip pokoknya.
Aku juga baru tahu kalau Iskha itu nggak suka makanan berminyak dan pedes. Ya maklum sih penyanyi. Beda ama Vira dia suka banget. Dan saudara-saudara kedua istriku nggak bisa masak Karena aku dulu pernah kerja di restoran ketika kuliah di Havard, jadinya paling tidak aku ngerti dengan ilmu memasak. Aku ngajari mereka untuk memasak. Praktis keduanya hanya masak yang instan macam sandwich, pancake dan mie instan. Tapi lambat laun aku ngajari mereka masak masakan Indonesia, entah itu rendang, sayur asem, sayur bening dan lain-lain. Kalau Iskha nggak bisa masak wajarlah, dia tomboy dulunya. Nggak pernah nyentuh dapur. Tapi aku salut ama usahanya belajar. Yang paling malu itu Vira.
Pernah dia suatu ketika masak sampai gosong semua. Goreng tempe saja wajannya sampai lengket. Dia pun akhirnya pasrah. Bilang ke aku, "Mas, aku nggak bisa masak." Sambil matanya berkaca-kaca gitu. Cute banget mirip kelinci yang mengiba. Duh....Ya sudah, habis itu aku ajarin masak.
Vira itu istriku yang paling mengirit. Beda dengan Iskha. Kalau Iskha sering belanja, tapi setelah belanja ia sering tanya ke aku, "Aku tadi beli ini buat apa ya?" Dia pernah beli selusin gelas plastik tanpa tahu kegunaannya. Kepengen aja gitu. -_-
Kalau Vira nggak. Uang belanja yang aku berikan kadang ia tabung. Dan yang aku suka adalah keduanya tak pernah menuntut aku. Mereka tahu kemampuanku. Mereka tahu kelemahanku. Perjuangan cinta Iskha selama ini, perjuangan cinta Vira selama ini telah terbayarkan. Iskha yang setia kepadaku, Vira yang sangat mencintaiku. Mereka akan menjadi dua bidadariku selamanya.
Maafkan Aku Faiz
NARASI HANI
Lupakanlah kejadian di hotel itu. Itu semua kecelakaan, pikirku. Bahkan dengan itu aku dan ayahku makin dekat sekarang. Semua keluarganya terkejut tentu saja ketika ayah mengatakan dengan jujur siapa aku ini. Ya, aku adalah putra dari Doni Hendrajaya. Pemimpin Hendrajaya Group. Awalnya aku ragu akan diterima baik. Tapi ternyata dugaanku salah, mereka sangat baik menerimaku.
Aku tidak bisa menerima perlakuan ayah yang terlalu baik. Aku cukup minta diakui aja sebagai putrinya dan ia pun mengakuinya. Tak berapa lama setelah Mas Faiz menikah, aku pun menikah dengan seorang anak konglomerat. Namanya Helmi Joyokusumo, anak pemilik Joyokusumo Group, rekan bisnis ayah.
Pacaran kami tergolong cukup singkat. Kami bertemu pada sebuah pesta. Aku tentu saja ada di sana karena aku adalah sekretarisnya. Aku sebetulnya tak menyandang nama Hendrajaya pada namaku. Dan karena itulah kami jadi akrab. Helmi sangat baik kepadaku. Pertemuan demi pertemuan pun berlanjut ke yang lebih dekat lagi. Yang aku sukai dari Helmi adalah dia menerimaku apa adanya. Aku berterus terang kalau aku adalah anak Pak Hendrajaya dan aku sudah tidak perawan lagi. Tapi ia tak mempermasalahkan. Begitu tahu aku anak dari Tuan Hendrajaya, tentu saja ia kaget.
Tidak lama kemudian dia melamarku dan menikah. Hmm...menurutku sih cowok yang ideal itu cuma Mas Faiz. Ideal tentunya, orangnya romantis, masih ingat bagaimana sikap dia kepada Mbak Iskha. Aku tak akan lupa itu semua. Walaupun Helmi tidak seperti Mas Faiz, tapi aku cukup bahagia karena dia menyempurnakan hidupku.
Berita menghebohkan itu pun datang. Ayah terkena serangan jantung. Akulah orang yang pertama kali berada di rumah sakit. Dokter sudah berusaha sekuat tenaga menolongnya, tapi beliau tak bisa bertahan. Kematiannya adalah jam 14.15 pada hari Rabu. Saat itu beliau dikatakan sedang main golf sampai tiba-tiba ambruk. Aku sudah menasehati untuk makan teratur dan menjaga pola hidup sehat. Tapi sepertinya pekerjaannya lebih penting dari itu semua.
Orang kedua yang datang ke rumah sakit adalah Mas Faiz dan keluarganya. Lalu disusul Bunda Aula dan anak-anaknya. Mereka datang bersamaan sepertinya. Keluarga Hendrajaya berduka pada hari itu. Tapi aku tak melihat air mata setetes pun dari Mas Faiz. Padahal sebenarnya nggak begitu. Aku tahu bagaimana hubungan mereka. Mas Faiz masih menghormati ayahnya. Dia pasti juga kehilangan tapi dia tak ingin menunjukkannya kepada siapapun.
NARASI FAIZ
Sepuluh tahun kemudian semenjak aku menikah dengan Vira. Ayahku meninggal. Doni Hendrajaya meninggal dan di makamkan di sebelah makam Mas Pandu. Seluruh keluarga kami berkabung. Beliau meninggalkan empat orang istri dan sepuluh orang anak. Koq sepuluh? Kami ketambahan satu yaitu Hani. Hani tak kusangka ternyata ia adalah saudara kandungku beda ibu. Ayah menyembunyikan nama ibunya. Tapi memang itulah yang terjadi. Selama ini Hani memang mencari ayahku. Perjumpaan dia dengan ayahku cukup singkat tapi itu sudah menyenangkan dirinya. Dan dia sekarang sudah menikah dengan lelaki yang dicintainya, juga anak konglomerat yang merupakan rekanan bisnis ayah.
Saat pemakaman ayah. Kak Putri ada di sana. Dia membawa seorang anak laki-laki berusia empat belas tahun. Wajahnya sangat mirip denganku. Apakah ia anak hasil dari hubunganku dengan dirinya? Bahkan namanya juga sama seperti aku, Faiz. Ketika bertemu lagi, ia tak berani menatapku, melirikku saja tak berani. Ia menyembunyikan wajahnya dengan kerudungnya, menyembunyikan kesedihannya dan terharunya dengan isak tangis.
Aku bisa melihat Bunda Vidia, Bunda Nur, Bunda Laura saling merangkul. Mereka tentu saja sedih suami mereka meninggal. Aku masih punya dosa sebenarnya kepada Bunda Vidia dan Bunda Nur. Tapi mereka sudah memaafkanku. Sekalipun begitu aku tak berani lagi menatap wajah mereka. Walaupun mereka bilang sudah memaafkanku dan tahu bahwa itu bukan karena kesengajaan murni akibat pengaruh obat perangsang tetap saja aku sepertinya tak bisa dimaafkan. Aku sampai sekarang tidak pernah menemui mereka di rumah. Ketika bertemu pada acara keluarga pun aku tak berani menatap mereka lagi.
Tapi mungkin setelah ini aku akan lebih serig menemui mereka. Apalagi mereka sudah tua. Tak ada lagi yang bisa menemani. Kegilaan di masa muda sudah berakhir. Generasi sudah berganti. Aku tak mau masa lalu selalu membebaniku. Apalagi Iskha adalah istriku yang luar biasa. Bisa menyatukan keluargaku. Aku sudah ceritakan kepada dia dan Vira apa yang terjadi dengan keluarga ini. Ia mulai mengerti dan hebatnya semua istriku bisa mengerti keadaan kami. Iskha juga sudah memaafkan Kak Putri, tapi aku tidak. Aku masih belum bisa memaafkannya sepertinya.
Tentang anaknya Kak Putri, selama ini ayah dan bunda tak pernah cerita. Aku baru menyadari bahwa Faiz junior yang ada di pemakaman itu adalah anakku ketika bunda menyinggungnya.
"Dia adalah anakmu dengan Putri," kata bunda.
"Trus apa hubungannya denganku? Aku tetap tak akan memaafkan Kak Putri," kataku.
"Faiz, jangan keras seperti itu. Itu sudah masa lalu. Kak Putri menyesal seumur hidupnya," kata bunda.
"Tapi dia tetap tak bisa dimaafkan."
"Sudahlah Faiz, dia sekarang hidup sendirian dengan Faiz keci Selama ini ia tinggal dengan ayahnya Putri. Tapi tak lama karena setelah itu meninggal. Putri jadi buruh petani teh selama ini. Dia hidupnya sengsara. Ia bahkan menolak semua uang ayahmu. Dia sudah berubah sekarang. Ia sangat sayang kepada Faiz kecil, kamu mengertilah sekarang. Maafkanlah dia!"
"Aku tetap tak akan memaafkannya. Biarpun dia mati aku tak akan memaafkannya."
Iskha mendengarkan percakapanku dengan bunda.
"Nda,...?" kata istriku.
Ia memelukku. Wajahnya yang cantik itu tersenyum kepadaku. "Kasihan Kak Putri Nda. Dia sudah kehilangan ayahnya, ia sudah kehilangan ayahmu. Ia selama ini tak berani ke sini juga karena dirimu. Dia sudah menyesal seumur hidupnya. Aku sudah memaafkan dia Nda, Kanda juga harus begitu."
"Kenapa? Dia telah berbuat jahat, dosanya tak bisa dimaafkan!"
"Nda, setiap orang berbuat jahat. Dan setiap manusia yang masih hidup bisa dimaafkan. Kandaku, demi aku. Maafkanlah Kak Putri. Kanda mau Faiz kecil itu hidup sendirian? Kanda sudah banyak memberikan kehidupan untuk kita, berikanlah kehidupan lagi, satu kehidupan saja kepada orang yang Kanda anggap punya dosa. Suamiku, maafkan dia ya?"
Wajah Iskha, matanya oh tidak...aku tak bisa menolaknya. Dia terlalu cute, terlalu cantik. Aku pasti takluk dengan tatapan matanya itu. Hatiku pun meleleh. Aku menarik nafas dalam-dalam.
"Aku akan pikirkan," kataku singkat. Setelah itu aku meninggalkan mereka. Iskha dan Bunda tampaknya menyerah. Mereka hanya mendesah. Sepertinya mereka sudah putus asa atas pendirianku.
Setelah ayah dimakamkan, beberapa hari kemudian kami berkumpul di rumah ayah. Seorang pengacara kemudian membacakan sebuah keputusan pengadilan tentang warisan kami.
"Pak Hendrajaya mewariskan seluruh hartanya yang dibagi secara adil sesuai dengan aturan agama yang dianut. Untuk bagian anak laki-laki dua kali anak perempuan, bagian istri adalah seperdelapan. Kemudian seluruh aset perusahaan dan kepemimpinan perusahaan diserahkan kepada pewaris yang telah ditunjuk, Faiz Hendrajaya. Demikian isi wasiat dari Doni Hendrajaya. Keputusan ini telah ditetapkan oleh pengadilan dan mengadung kekuatan hukum."
Warisan ayah sangat besar. Aku yakin istri dan anak-anaknya akan mendapatkan bagian yang tidak sedikit. Aku sama sekali tak mengeluarkan air mataku saat itu. Bagiku ayah sudah memberikan pelajaran bahwa kita kan menjadi kuat dengan segala ujian yang diberikan kepada kita.
Setelah pengumuman itu dan pengacara pergi, kak Putri menghampiriku. Aku tak menoleh sedikit pun kepadanya.
"Faiz, kamu masih tak memaafkanku?" tanyanya sambil terisak.
Aku hanya berdiri tak bergerak. Melihatnya saja tidak. Aku benar-benar tak memaafkannya sampai sekarang. Aku menoleh ke arah Iskha dan Vira. Mereka hanya melihatku dari jauh. Iskha menganggukan kepalanya, seolah-olah dia berkata, "Maafkan kak Putri kanda."
"Baiklah kalau kamu tidak memaafkan aku. Tapi paling tidak lihatlah Faiz kecilku. Itu adalah anak kita. Aku membesarkannya seorang diri. Semenjak kamu marah besar waktu itu, aku pergi dari kota ini. Aku menyendiri. Membesarkannya sendiri. Lihatlah, ia segagah dirimu, dia setampan dirimu. Aku sangat menyayanginya, aku ingin dia seperti dirimu. Dia juga anak yang berbakti. Dia sudah besar sekarang. Seandainya aku tak ada hari esok lagi, aku memohon kepadamu, tolong jagalah dia. Anggaplah dia bagian dari keluargamu. Aku akan terima nasibku mendapatkan penebusan dosa atas apa yang telah aku lakukan," sambil masih terisak Kak Putri menggeret Faiz kecil mendekat kepadaku.
"Aku selalu menjaganya siang malam. Lihatlah. Dia seperti dirimu. Aku tak bisa melupakanmu Faiz, aku tak bisa. Semakin aku mengasuhnya, melihat ia tumbuh dari hari ke hari, aku malah merasa makin berdosa. Aku malah makin bersalah kepadamu. Karena aku melihatmu di dalam dirinya. Tahukah kamu kata yang pertama kali diucapkannya ketika dia masih bayi? Ayah....iya, dia mengucapkan ayah padahal ia tak pernah melihat ayahnya.
"Faiz, siksalah aku sepuasmu. Jangan anakku, jangan dia. Dia tidak bersalah. Kumohon, sayangilah dia. Kalau kamu ingin aku pergi, aku akan pergi. Iya, aku akan pergi. Ini memang sudah menjadi hukumanku. Ayah juga menghukumku. Aku memang pantas mendapatkannya. Lima belas tahun aku pergi dari keluarga ini Faiz. Selama itu pula aku mengasuh anak kita. Lihatlah dia! Lihat! Kalian seperti pinang dibelah dua. Mirip bukan? Nama kalian juga sama."
Anak lelaki itu melihat diriku. Aku menoleh ke arahnya. Benar-benar seperti aku. Mirip sekali. Aku seperti melihat diriku sendiri di dalam cermin. Apa yang telah aku lakukan? Faiz kecil. Dia tidak bersalah. Aku tak perlu menghukum dia juga. Kenapa ini semua harus terjadi?
"Ayo nak, cium tangan ayahmu!" perintah Kak Putri.
Aku mengulurkan tanganku. Faiz kecil mencium tanganku. Dia tersenyum kepadaku. "Aku bangga kepada ayah. Ibu selalu menceritakan tentang ayah. Ayah orang hebat. Aku selalu ditemani oleh foto ayah ketika tidur. Ibu selalu menunjukkan foto ayah, bahwa aku harus seperti ayah, harus rajin belajar. Tapi kata ibu, kalau aku berjumpa dengan ayah, aku tak boleh memarahi ayah. Sebab ibulah yang selama ini salah. Ibu sudah menyakiti ayah. Maka dari itulah ibu pergi. Ibu bilang sebelum ke sini, aku tak boleh mengecewakan ayahku. Aku harus berpenampilan sama seperti ayah. Ini adalah perjumpaan dengan ayah secara langsung untuk pertama kali.
"Aku selalu melihat berita tentang ayah. Aku bahkan sejak dulu menggunting koran mengkliping berita-berita tentang ayah, memajang foto-foto ayah, seluruh kamarku berisi foto ayah. Aku sangat mengidolakan ayah sejak dulu. Ayah telah memberikanku inspirasi, telah memberikanku semangat. Aku selalu membanggakan ayah di antara teman-temanku. Aku tak malu mengatakan bahwa aku adalah putra dari Faiz Hendrajaya, sekalipun aku belum pernah bertemu dengan dirinya sejak aku masih kecil. Bagiku itu tak masalah, mungkin ayah memang sibuk, mungkin ayah memang tak bisa berjumpa denganku, karena ibu tak pernah memberitahu di mana ibu tinggal.
"Aku tak pernah ayah gendong ketika kecil, aku juga bahkan tak pernah ayah suapi ketika kecil. Bahkan aku belum pernah memeluk ayahku sejak dari kecil. Boleh aku memeluk ayah sekarang? Kakekku selalu menemaniku, dia berkata bahwa aku harus jadi anak berbakti kepada kedua orang tuaku, dan kalau nanti aku ketemu ayah, kakek berpesan agar ayah mau memaafkan ibu. Aku memohon kepada ayah, maafkanlah ibu. Aku tahu ayah mungkin tak mencintai ibu. Tapi, setidaknya ampunilah ibu, maafkanlah ibu. Kalau toh ayah tak menerimaku, setidaknya maafkanlah ibu. Karena selama ini hanya ibu yang aku punya."
Mataku berkaca-kaca tak mampu dibendung lagi. Air mataku meleleh. Aku terharu....Aku melihat kak Putri. Dia masih terisak. Iya, Faiz kecil tidak salah. Ia tak harus mendapatkan hukuman ini. Dia sama sekali tak berdosa. Ya tuhan, aku telah salah. Maafkan aku Faiz kecilku. Kemarilah nak, peluklah ayahmu.
"Sini Faiz, sini!" kataku. Aku seperti memanggil diriku sendiri. Faiz kecil segera memelukku dengan erat. Tangisnya pun pecah.
Kak Putri mulai bisa tersenyum, tapi masih sambil terisak. Aku melihat penyesalan mendalam di wajahnya. Kedua istriku yang melihat ini semua dari jauh juga tak bisa menahan haru. Mereka tahu semua yang terjadi dengan Kak Putri. Aku yang cerita. Memang itu hal yang pahit. Hal yang seharusnya tidak terjadi. Ini adalah pengampunan, ini adalah pemaafan.
"Kak Putri, sini!" kataku.
Kak Putri masih terisak ia menggeleng.
"Sini, aku memaafkan kakak, ke sinilah. Ke sini!" ajakku.
"Sungguh?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Iya, aku memaafkan kakak. Sudahlah, ayo sini!"
"Faiz...," Kak Putri langsung merangkulku dan Faiz kecil. Ini adalah momen yang paling mengharukan. Tangis Kami pecah bersama. Aku akhirnya bisa memaafkan Kak Putri. Walaupun dia dulu merampas nyawaku, tapi sekarang dia memberikan aku nyawa yang baru. Faiz kecilku. Dosa-dosanya aku ampuni, aku maafkan.
Kedua istriku pun berhamburan memeluk kami. Hari ini aku menggantikan ayahku menguasai perusahaannya, seluruh usahanya yang ratusan itu. Dan bahkan aku harus mengatur juga perusahaanku sendiri yang memang sudah besar sekarang. Entah nanti aku mengaturnya bagaimana.
Aku tidak seperti ayahku tentu saja. Aku berbeda. Aku akan tetap menganggap Kak Putri sebagai kakakku. Aku tak menikahinya dan ia harus menerima bahwa tak mungkin ia mencintaiku.
NARASI PUTRI
Anakku sudah besar sekarang. Ini sudah masuk ke usia 17 tahun. Ketika Faiz dan Faiz kecil berjalan bersama, aku seperti melihat pinang dibelah dua. Aku sudah mulai menerima nasibku. Cintaku bertepuk sebelah tangan. Tapi aku tak ingin menikah lagi. Prinsipku tetap menganggap semua laki-laki di dunia ini brengsek kecuali Faiz. Ayah kandungku sendiri meninggalkan ibuku, ayah tiriku sendiri kelakuannya juga bejat. Tapi Faiz tidak.
Aku sangat iri kepada kedua istrinya. Faiz mendapatkan mereka semua, para wanita yang dicintainya. Faiz telah memaafkan aku. Aku tinggal lagi bersama bunda. Beliau sekarang sudah tua. Aku mengisi hari-hari terakhirnya sebelum beliau menyusul ayah. Sebab siapa lagi yang bisa mengasuh beliau? Icha sudah menikah, Rendi sudah menikah. Aku tinggal sendirian di rumah bersama bunda. Setelah bunda meninggal, Faizlah yang mengubur bunda ke liang lahat yang berada di samping makam ayah. Mereka berdua memang tak terpisahkan.
Di makam itu, aku melihat tiga orang bersanding. Ayah, bunda dan Pandu. Tak ada yang abadi di dunia ini. Sebagaimana juga kerasnya hati Faiz yang tidak memaafkanku, toh akhirnya ia juga luluh setelah melihat Faiz kecil. Iskha telah memaafkan aku terhadap apa yang aku lakukan dulu. Pernikahannya dengan Faiz dikaruniai 4 orang anak. Vira dikaruniai 3 orang anak. Mereka sudah kuanggap sebagai anak-anakku sendiri. Karena di rumah sepi tak ada siapapun, kadang mereka mampir ke rumah.
Faiz memimpin perusahaan dengan tangan dinginnya. Perusahaannya makin besar dan menguasai industri Teknologi Mobile se-Asia. Perusahaan ayah kemudian sebagian diberikan kepada saudara-saudaranya. Faiz bukan orang yang royal. Sekali pun dia sebagai orang yang mampu memimpin banyak perusahaan, tapi ia tetap bersikap sederhana. Ia tidak malu beli makan di warung pinggir jalan. Tentu saja hal itu selalu menjadi heboh dan wartawan-wartawan yang lebay selalu memberitakannya.
Aku sudah cukup senang dengan kehidupanku ini. Aku hanya ingin menghabiskan usiaku dengan tenang dan damai. Sebab aku sudah mendapatkan pengampunan Faiz. Kebahagiaanku bukan berarti aku harus bersama Faiz. Aku sadar aku tak bisa memaksanya untuk mencintaiku. Kebahagiaanku adalah pengampunan dan pemaafan darinya. Itu sudah cukup bagiku. Sudah cukup.
End of Story
{ 0 comments... read them below or add one }
Posting Komentar
Berkomentaralah Dengan Baik yng berisi kritikan , Masukan Demi Kalangsungan Blog kita Bersama ini